Oh Tuhan ku berserah segalanya kepadaMu
Agar jiwaku tenang dengan bimbinganMu selalu (Afgan-Kumohon).
Alih-alih berdoa dan berkontemplasi, Calvin bermain piano. Berusaha membuang kesakitannya lewat denting lembut. Sakit, sakit ini menghantam dadanya.
Sejurus kemudian, Calvin berlutut. Satu tangannya memegang prayer beads. Sekilas mirip rosario dan mala-kalung manik simbol agama Buddha-. Bukan manik-manik biasa yang melapisi benda itu, melainkan mutiara. Calvin berencana memberikannya pada Sivia kalau waktunya sudah semakin dekat.
Waktu? Kian hari, ia kian merasa pasir waktunya terus berkurang. Darah yang mengalir di tubuh fananya makin sering membeku, membentuk gumpalan-gumpalan menakutkan. Calvin takut dengan waktu. Jangan kira ia takut dengan jarum suntik, obat pengencer darah, rasa sakit yang menghebat, dan vonis dokter.
"Ya, Tuhan, kenapa dada ini makin sakit? Bagaimana bila gumpalan darah di jantungku membunuh perlahan...?" lirih Calvin.
Serangan itu lagi. Calvin mencengkeram dada kirinya. Susah payah ia meraih iPad. Dalam kesakitan, dicobanya menuliskan sesuatu.
** Â Â
"Madam Alea, are you ok?"
Seorang pria bule berambut pirang dan berkemeja abu-abu mendekatinya. Alea memalingkan pandang dari layar komputer. Matanya agak merah.
"I'm good," jawabnya tenang.