"Tadi Jose lihat Paman Adica sama Auntie Syifa berantem. Katanya, Auntie Syifa nggak ada waktu."
Ayah Calvin memeluk Jose. Anak tampan berparas pucat dan berhidung mancung itu menarik-narik lengan jas Ayahnya. Mata sipitnya dibayangi luka.
"Jose sakit liat orang berantem...!" seru Jose tertahan seraya menunjuk dadanya.
"I see. Itulah kehidupan, Jose. Ada pertengkaran karena ketidakcocokan. Dunia kan bukan utopia." ujar Ayah Calvin lembut.
"Auntie Syifa kan orang baik. Mau ulang tahun lagi. Ayah mau nggak bantu Auntie Syifa berdamai sama Paman Adica?" pinta Jose.
Bukan Ayah Calvin Wan namanya kalau tak bisa mendamaikan pertengkaran. Esoknya, tepat tanggal 10 Juni, Ayah Calvin menjalankan rencana.
Mudah bagi Ayah Calvin untuk mengajak Syifa makan malam bersama. Ayah Calvin anak tunggal, sedangkan Syifa anak pertama. Mereka saling menyayangi layaknya kakak dan adik.
"Kamu suka tempatnya, Syifa?" Ayah Calvin menanyai adik angkatnya.
Syifa tersenyum manis. Mengedarkan pandang ke sekeliling resto bergaya vintage itu. Meja-kursi dari kayu jati, dinding batu, lantai terakota, menu Western, dan piano di panggung kecil. Bagaimana mungkin dia tidak suka?
"Suka sekali. Selera Kakak tinggi," pujinya.
"Anyway...bagaimana para imigran itu?"