Tanpa memedulikan calon istrinya, Paman Adica mendorong kursi roda Jose keluar taman. Sia-sia Syifa berusaha mengejar. Langkah Paman Adica terlalu cepat.
Di tengah jalan, hujan lebat membasuh tanah. Air mata langit tumpah. Jose menekapkan tangannya ke dada. Sesal menghinggapi hati Paman Adica. Mestinya dia tak perlu membawa Jose keluar rumah.
"Maafkan aku, anak nakal. Maaf..." ucapnya berulang-ulang. Belum pernah Jose mendengar Paman Adica sesedih ini.
Syifa menyusul mereka. Demi Jose, dia dan Paman Adica melupakan perseteruan. Bersama mereka membawa Jose ke rumah Paman Adica. Rumah Paman Adica lebih dekat ketimbang kediaman Ayah Calvin.
Sedikit kebahagiaan memerciki hati Jose. Beginikah rasanya punya keluarga utuh? Tidak hanya ada sosok ayah, tetapi juga ada sosok bunda. Bunda? Bukankah sebentar lagi Jose memilikinya? Kalaupun Ayah Calvin jadi menikah dengan Bunda Alea, Jose tak mau mereka bertengkar seperti Paman Adica dan Syifa.
** Â Â
Jose duduk di tepi ranjangnya. Ingatan tentang Syifa dan Paman Adica terus berkejaran. Jauh di dalam hati, hadir rasa sedih. Mengapa orang dewasa suka sekali bertengkar? Kesedihan Jose mengalahkan rasa sakit di tubuhnya.
"How is your day, Son?" tanya Ayah Calvin lembut. Satu tangannya meletakkan gelas kristal dan bungkus obat yang telah kosong.
"Not good..." jawab Jose lirih.
Hening sesaat. Ayah Calvin menangkap mendung di wajah Jose.
"Sini, Sayang. Sini...cerita sama Ayah. Ada apa?"