Refleks Syifa melepas dekapan tunangannya. Lalu ia berlutut di depan kursi roda, menarik Jose ke dalam rengkuhan.
"Kabar baik, Sayangku. Kamu masih sakit ya? Aku sibuk sekali di kantor. Jose kan tahu, pekerjaan Auntiemu ini mengawasi siaran TV dan radio. Adaaaa aja pelanggarannya."
"Jangan percaya dia, Jose. Dia lebih perhatian pada imigran-imigran Soeta itu." sela Paman Adica tajam.
Syifa mengangkat alis. Pelukannya merenggang. Ditatapnya Paman Adica penuh tanya.
"Aku tahu semuanya, Syifa. Waktu, perhatian, dan kasih sayangmu hanya untuk orang-orang dari negara konflik itu."
Mendengar itu, wajah Syifa menegang. Senyumnya memudar. Jose tak mengerti apa yang terjadi. Mengapa sikap orang dewasa cepat sekali berubah? Menit sebelumnya hangat, menit berikutnya sudah ganti lagi.
"Kau salah, Adica. Aku berusaha memperhatikan semuanya. Mereka hanya imigran yang aku bantu. Tak ada perasaan lebih untuk mereka." jelas Syifa sesabar mungkin.
"Nope! Jason, Hamzah, Sami, Smiry, Najla, dan yang lainnya itu! Hanya mereka yang ada dalam pikiranmu! Tak ada namaku di hatimu, kan?"
Nama-nama asing siapa itu? Jose berusaha keras mengingat semuanya. Kepalanya berdenyut sakit. Tapi ia tetap ingat.
"Kamu penting untukku, Adica." Syifa berujar meyakinkan.
Paman Adica tertawa hambar. "Ayo kita pulang, anak nakal."