"Di rumah, dia sering bercerita padaku. Ada malaikat tampan bermata sipit di sekolah baru, begitu katanya. Malaikat itu mengajar musik. Ia juga yang membimbing ekskul marching band. Kata Tamara, pengajarnya lembut dan sabar. Ternyata itu kamu."
Ayah Calvin menundukkan wajah. Satu tangannya melepas kacamata, membersihkan mata buatan itu dengan ujung jasnya. Ia makin salah tingkah.
"Jose juga pernah cerita tentang Bundanya Tamara yang pintar masak. Aku tak menyangka kalau itu dirimu." ujarnya pelan.
Dugaan Jose, pertemuan itu singkat saja. Nyatanya tidak. Ayah Calvin mengantar pulang Tamara dan Bunda Dinda. Semula Bunda Dinda menolak. Dia berkeras memanggil taksi online saja. Tapi Ayah Calvin memaksa mengantar mereka.
"Naik mobilku lebih man, Dinda. Aku akan lebih tenang kalau bisa mengantar kamu dan Tamara sampai rumah," bujuk Ayah Calvin seraya membukakan pintu mobilnya.
Bunda Dinda dengan canggung duduk di samping Ayah Calvin. Jose dan Tamara duduk di bangku belakang. BMW putih itu melaju pergi.
Ayah Calvin mengemudikan mobilnya dengan pelan dan hati-hati. Ia santai saja membawa mobil. Tak terpengaruh dengan kendaraan-kendaraan di depan dan belakang yang berusaha menyelipnya. Saat berpapasan dengan pengemudi ugal-ugalan, Ayah Calvin tak marah. Tidak juga membalas makian dan klakson dari mobil sebelah. Bunda Dinda memperhatikan dengan hati berdesir. Ayah Calvin tak pernah berubah. Masih sama seperti dulu.
** Â Â
Makin lama, Jose makin dekat dengan Bunda Dinda. Sudah dua kali senja jadi lebih indah dengan undangan makan bersama di rumah Bundanya Tamara itu. Pada undangan kedua, Jose mengajak Ayah Calvin bersamanya.
Kejutan, lagi-lagi kejutan. Ayah Calvin dan Bunda Dinda sama-sama suka masak. Dapur rumah Bunda menjadi lahan duet mereka. Bunda Dinda dengan masakan Indonesianya, Ayah Calvin dengan Chinese foodnya. Tergetar hati Bunda Dinda melihat Ayah Calvin mengenakan apron putih dan memasak nasi Haainam dengan slow cook.
"Signature dishmu masih sama ya. Nasi hainam..." seloroh Bunda Dinda.