Setelah berkata begitu, Ayah Calvin memeluk Bunda Dinda. Ayah Calvin mencium kening Bunda Dinda, seperti ciumannya untuk Jose tiap sepertiga malam. Seperti ciuman untuk noni Manado Borgo bermata biru bernama Sivia itu.
Mata Bunda Dinda terpejam. Damai, damai rasanya dalam pelukan Ayah Calvin. Kedamaian itu telah kembali.
** Â Â
Sore itu, Ayah Calvin dan Bunda Dinda berjalan bersisian menyusuri koridor rumah sakit. Mreka membawa berkotak-kotak makanan berat. Tanggal 24 Mei, hari ulang tahun Bunda Dinda. Ayah Calvin menemaninya berbagi makanan di rumah sakit.
Rumah sakit, Ayah Calvin mengakrabi tempat itu. Serasa seperti rumah kedua. Tempat yang paling sering dikunjunginya selain kantor dan yayasan.
"Calvin, are you ok?" tanya Bunda Dinda khawatir.
"Wajahmu pucat sekali..."
"I'm good," Ayah Calvin menjawab tanpa memandang mata Bunda Dinda.
Bunda Dinda tak yakin. Namun, perhatiannya teralih saat mereka memasuki unit kelas tiga. Unit satu ini dijejali 6-10 pasien di tiap salnya. Berbanding terbalik dengan unit kelas satu dan VIP, unit kelas tiga lebih penuh. Perawatnya tanpa senyum. Kondisi pasiennya agak menakutkan. Ada yang terluka parah, menderita penyakit menular, dan masih banyak hal menyedihkan lainnya.
"Ah, untung Jose dan Tamara tidak ikut ya." desah Bunda Dinda.
"Iya. Kenapa kamu tertarik berbagi di unit kelas tiga?"