Ayah, Guru, Malaikat
Jose senang sekali jika Ayah Calvin menemaninya sampai tertidur. Ayah Calvin akan memeluknya, mengecup keningnya, menyelimutinya, membacakan buku, atau menceritakan sesuatu dengan suara lembut. Peduli amat dengan reaksi teman-teman sekelasnya. Mereka tak tahu betapa Jose menyayangi Ayah Calvin.
Tapi, malam ini beda. Wajah Jose nampak kusut. Ia tak bisa tidur. Berulang kali Jose berganti posisi.
"Kenapa, Sayang? Kok cemberut gitu sih? Senyum dong..." Ayah Calvin lembut membujuk.
Anak tunggalnya diam saja. Tersenyum pun tidak. Ayah Calvin menghela nafas sabar.
"Jose masih lapar ya? Mau makan lagi? Biar Ayah suapin..." tawarnya.
Mantan ketua kelas itu menggeleng. Tidak, ia tidak lapar.
"Atau...buku yang tadi kurang bagus. Jose mau dibacain buku lain?"
"Nggak."
"Terus kenapa? Anak Ayah jangan cemberut. Ntar kalah ganteng sama Ayahnya."
Dari mana Ayah Calvin belajar narsis? Jose menahan tawa. Ayah Calvin menggelitikinya.
"Pasti heran kenapa Ayah narsis. Ayo ngaku, ngakuuuuu!" serunya, terus menggelitiki Jose.
Ayah dan anak itu memang sangat tampan. Tampilan fisik mereka berbeda dengan warga lokal. Jose dan Ayah Calvin lebih tinggi, lebih putih, dan lebih halus garis wajahnya. Pancaran mata mereka bening meneduhkan.
"Jose kesel sama Adi!" teriaknya tiba-tiba.
Refleks Ayah Calvin menghentikan gerakan tangannya. Ditatapnya Jose penuh perhatian.
"Adi ngata-ngatain Jose lagi. Katanya, dia nggak suka kalo kelasnya dipimpin orang terus."
Orang asing? Ayah Calvin sedih mendengarnya. Cepat sekali anak-anak belajar rasis.
"Jose bukan orang asing, Sayang. Andrio juga. Kita semua orang Indonesia. Jangan dengarkan Adi ya..." kata Ayah Calvin menyabarkan.
"Memangnya orang asing nggak boleh jadi pemimpin?" tuntut Jose kesal.
"Nak, kamu bukan orang asing." Ayah Calvin menegur dengan nada halus.
Jose sulit mempercayai perkataan Ayahnya. Ucapan Adi terlalu menyakitkan. Dirinya yang berwajah oriental, Silvi yang bermata biru, Andrio yang memakai Bahasa Inggris di rumah, Hito yang senang mengobrol Bahasa Jepang dengan Papanya, dan Livio yang fasih berbahasa Belanda, sering dimaki-maki "orang asing" oleh Adi. Adi makin marah karena kelasnya punya dua ketua kelas asing. Satu bule, satu Chinese.
"Jose...Sayangku, kamu bukan orang asing. Ingat itu. Kamu punya hak memimpin, sama seperti yang lain." ujar Ayah Calvin lembut.
Ketika Jose tak juga tenang, Ayah Calvin mengalihkan perhatiannya. Dielus-elusnya rambut Jose sambil bercerita.
** Â Â
Puja bakti baru saja usai. Ayah Calvin melirik jam tangannya dengan gelisah. Tergesa dia meninggalkan vihara.
"Kau mau kemana? Buru-buru sekali...ini kan sudah sore. Bukan jam kerja."
Sesosok wanita berjubah kuning-kemerahan menyusulnya. Ayah Calvin berhenti sejenak saat hendak membuka pintu mobilnya.
"Saya harus mengajar, Ayya."
"Mengajar? Sore-sore begini..."
Ayah Calvin mengangguk. Tak ada waktu untuk menjelaskan. Tiga menit kemudian, BMW putih itu meluncur keluar halaman vihara.
Sore itu, langit cerah. Langit biru bersih tanpa awan. Bola kuning keemasan menggantung lembut di atasnya, menebarkan cahaya lembut. Sinarnya menjatuhkan bayangan panjang di cabang pohon dan ruas jalan.
Setengah jam berkendara, Ayah Calvin tiba di sebuah sekolah berpagar biru. Tulisan di gerbangnya berbunyi: Sekolah Luar Biasa. Halamannya yang luas dipenuhi ayunan, perosotan, dan jungkat-jungkit beraneka warna. Rumputnya mulai meninggi.
Turun dari mobil, Ayah Calvin dipeluk erat seorang siswa disabilitas grahita. Anak itu membasahi jas mahal yang dikenakan Ayah Calvin dengan ingusnya. Ayah Calvin hanya tersenyum, mengusap-usap kepala anak itu, dan melepas pelukannya dengan lembut. Ia berjalan menuju ruang musik.
Masih ada waktu setengah jam sebelum kelas dimulai. Ayah Calvin menunggu sambil bernyanyi dan bermain piano.
Oh, tiada yang hebat dan mempesona
Ketika kau lewat di hadapanku
Biasa saja...
Waktu perkenalan lewatlah sudah
Ada yang menarik pancaran diri
Terus mengganggu
Mendengar cerita sehari-hari
Yang wajar tapi tetap mengasyikkan
Kini terasa sungguh
Semakin engkau jauh
Semakin terasa dekat
Akan ku kembangkan
Kasih yang engkau tanam
Di dalam hatiku
Oh, tiada kejutan pesona diri
Pertama kujabat jemari tanganmu
Biasa saja...
Masa pertalian terjalin sudah
Ada yang menarik bayang-bayangmu
Tak mau pergi
Dirimu nuansa-nuansa ilham
Hamparan laut tiada bertepi
Kini terasa sungguh
Semakin engkau jauh
Semakin terasa dekat
Akan ku kembangkan
Kasih yang engkau tanam
Di dalam hatiku
Tepat ketika ia menyelesaikan lagunya, Ayah Calvin merasakan sakit. Sakit yang melumpuhkan kedua tangannya. Tenggorokannya serasa ditusuk revolver. Sakit dan perih.
Jangan sekarang, bisik hatinya kalut. Tolong jangan sekarang...kelas belum selesai. Dia tak ingin mengecewakan para guru dan murid. Sungguh tidak lucu bila guru musik mereka kehilangan suara.
Ayah Calvin terbatuk. Darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya. Anak-anak tidak boleh tahu. Pria berkacamata itu menggunakan banyak tissue untuk menghapus darahnya. Kata-kata dokter pribadinya terus terngiang.
"Terapi itu melemahkan kekebalan tubuhmu...kamu harus hati-hati."
Pintu ruang musik terbuka. Alia dan teman-temannya datang. Ayah Calvin bangkit, menyambut murid-muridnya hangat. Ia bersikap senormal mungkin, seakan semuanya baik-baik saja.
"Ayah Calvin, tadi Alia dimarahin Bu Farida." Gadis kecil berhijab putih mengadu.
"Alia dimarahin soalnya dikira nyontek. Padahal kan, Alia ambil krtas yang jatuh."
Ayah Calvin mengelus-elus kepala Alia. Membetulkan lipatan bajunya. Alia memegang erat tangan guru musiknya. Gelap pandangannya, terang hatinya. Alia memang tidak bisa melihat wajah guru musiknya yang begitu tampan. Akan tetapi, dia dapat merasakan kelembutan dan ketulusan Ayah Calvin.
Kelas berlangsung menyenangkan. Ayah Calvin mengajari mereka membaca not. Dibuatkannya notasi berhuruf Braille untuk Alia dan dua temannya yang tidak bisa melihat. Anak-anak kelas enam senang sekali belajar musik.
Suara azan Maghrib menyela. Ayah Calvin menghentikan kelas sejenak. Disilakannya Alia dan teman-temannya yang Muslim untuk berbuka.
Sekolah ini memang majemuk. Anak Muslim, Katolik, Protestan, Konghucu, Hindu, dan Buddhis belajar bersama. Mereka disatukan oleh nasib yang sama. Tubuh dan pikiran mereka boleh tak sempurna, namun hati mereka terbuka.
Ayah Calvin meraih tas krtas di bawah kakinya. Di dalam tas itu, tersimpan beberapa kotak nasi, ayam goreng, dan gelas-gelas kertas berisi lemon tea. Dibagi-bagikannya makanan dan minuman itu pada murid-murid Muslim.
"Wah, ini buat Alia?" tanya Alia, matanya berbinar senang.
"Iya. Sini, Ayah bukain. Mau disuapin nggak?"
"Makasih Ayah Calvin. Alia Cuma bawa ini dari rumah..." Alia mengacungkan sebotol air mineral.
Lembut dan sabar, Ayah Calvin menyuapi Alia. Anak itu masih kesulitan makan sendiri.
Jadi guru Sekolah Luar Biasa sama artinya jadi orang tua dan pengasuh. Guru-gurunya harus siap mengurus kebutuhan murid mereka. Sejak menerima tugas itu, Ayah Calvin tak keberatan melakukannya.
Selesai mengajar, Ayah Calvin bertemu staf guru. Mereka memuji perbuatannya.
"Pak direktur hebat. Udah ganteng, baik lagi." puji seorang guru wanita.
"Saya hanya berusaha memahami mereka..." balas Ayah Calvin rendah hati.
"Ah, kami nggak tahu gimana jadinya kalo nggak ada pak direktur. Kalau sekolah nggak rusak parah, kami juga nggak mau biarin siswa belajar bergantian pagi, siang, sore kayak gini."
Terjangan angin putting beliung merusak sekolah itu. Anak-anak harus rela belajar bergantian. Kelas satu, dua, dan tiga masuk pagi. Kelas empat dan lima emakai kelas di siang hari. Kelas enam kebagian belajar di sore hari.
"Saya bantu sebisanya. Pelan-pelan kita perbaiki sekolah ini..." Ayah Calvin berujar menenangkan.
Hati para guru terasa hangat. Mereka tak sendiri. Malaikat turun di Sekolah Luar Biasa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H