Masa lalu takkan terhapus. Jose tahu, Ayah Calvin pernah berbeda dengan dirinya. Kenapa sakit sekali?
Lintasan yang berbeda bagai simfoni kesedihan yang tak pernah usai. Sebuah kendala tanpa akhir. Entah dimana ujungnya. Perlahan Jose menyentuh tasbih mutiara yang menggantung di dadanya.
Sejurus kemudian, anak tampan yang telah menerbitkan beberapa novel itu melangkah ke kamar tidurnya. Dia buka buku tulisnya yang masih baru. Ditulisnya nama Ayah Calvin berkali-kali. Nama sang ayah tertera di lembar-lembar buku.
Puas memenuhi buku tulis dengan nama "Calvin Wan", Jose membuka laci meja teratas. Setumpuk foto Ayahnya dikeluarkan. Poster-poster pemain basket, novelis, bintang film, dan penyanyi favoritnya ia lepas dari dinding kamar. Selama sepersekian menit Jose naik-turun kursi. Dipajangnya foto-foto Ayah Calvin. Kamar tidur mewah bernuansa broken white itu dipenuhi potret Ayah Calvin dalam berbagai pose.
"Kapan Ayah kembali?" bisik Jose saat memasang foto terakhir. Tak sengaja tangannya terkena martil. Sakit, namun lebih sakit kesedihan hatinya.
Martil itu dipukulkannya lagi. Tangannya terluka. Jose merasa puas. Ia melompat turun dari kursi, lalu berlari menuju garasi.
** Â Â
Jose mengayuh sepeda balapnya. Hati kecilnya membisikkan, Ayah Calvin ada di vihara. Firasatnya sering kali benar.
Vihara di depan kompleks perumahan elite itu bergandengan mesra dengan masjid dan gereja. Ratusan umat memadati tempat itu. Kegembiraan bagai awan menggantung di atas vihara.
Mata Jose menginspeksi jajaran mobil di tempat parkir. Yes, ia menemukan mobil Ayahnya! Sedan mewah berwarna putih dengan plat D1186 J. G. Dua huruf di belakang adalah inisial nama depan dan nama tengah anaknya: Jose Gabriel.
Segera saja Jose memarkir sepeda balapnya asal saja. Dia berlari memasuki vihara. Menyeruak melewati kerumunan umat, mencari-cari Ayahnya. Kalung tasbih terlambung-lambung di dadanya.