Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Takkan Terganti

10 Mei 2019   06:00 Diperbarui: 10 Mei 2019   06:04 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah, Takkan Terganti


Perempuan 53 tahun itu terbaring lemah. Punggungnya terluka karena selalu tertidur. Ia tidak cantik, tetapi kondisinya bisa membuat siapa saja tersentuh melihatnya. Guratan panjang tertinggal di dada Ayah Calvin. Ia baru saja melihat perempuan itu.

"In comma..." desah Dokter Tian.

"Kanker payudara. Sudah stadium terminal."

Ayah Calvin terenyak. Kanker stadium terminal? Menakutkan.

"Dokter Tian...apakah saya akan begitu juga?" lirihnya.

"Semoga tidak." balas Dokter Tian.

Tidak, Ayah Calvin tidak ada di sini. Balon kecemasan di hati Jose terus membesar. Ia sedih dan cemas sekali ditinggalkan Ayahnya. Kenapa Jose sering ditinggal-tinggal?

"Tinggalkan saya sendiri..." Ayah Calvin memohon. Masih menatap nanar pasien kanker stadium terminal itu.

"Tapi..."

Terdengar derap langkah berlari. Dua pasang kaki menghampiri. Paman Revan dan Paman Adica tiba. Mereka memegang kedua lengan Ayah Calvin.

"Ayah...Ayah dimana?" Jose memanggil-manggil Ayahnya, pilu.

Anak ganteng yang telah menulis beberapa buku itu berkeliling rumah. Naik-turun tangga, melewati kolam renang, keluar-masuk ruangan. Ayah Calvin tak ada dimana-mana.

Jose tiba di ruang kerja. Dia terpana. Banyak potret dirinya terpajang di ruang kerja Ayah Calvin.

"Calvin...are you ok?" tanya Paman Revan khawatir.

Ayah Calvin muntah darah. Noda darah mengambang di lantai rumah sakit bagai bunga-bunga merah. Paman Revan, Paman Adica, dan Dokter Tian cemas luar biasa. Segera saja mereka mengangkat tubuh Ayah Calvin ke atas brankar. Melarikannya ke emergency.

"Jangan....beri tahu...Jose." Ayah Calvin memohon, takut sekali anak tunggalnya tahu.

Jose tahu, Jose merasakan. Betapa Ayah Calvin menyayanginya. Tapi, kalau Ayah Calvin sayang dirinya, mengapa Jose sering ditinggal-tinggal?

Sering kali Ayah Calvin meninggalkannya begitu lama di jam-jam tertentu. Jaangan harap Jose bisa memeluk Ayahnya jam 6 pagi, jam 9, dan di atas jam 7 malam. Pernah Ayah Calvin bilang begini pada anak semata wayangnya.

"Ayah tidak bisa 24 jam sehari dan 365 setahun mendampingimu, Jose. Ayah Calvin hanya satu. Arus dibagi-bagi."

Apanya yang dibagi-bagi? Jose merengut. Urusan kantor, Ayah Calvin bisa menyerahkannya pada tangan kanannya. Kan Ayah yang punya kantor. Begitu juga yayasan. Opa dan Oma sudah meninggal. Seumur hidupnya, Ayah Calvin tak punya kakak dan adik yang harus diurus. Lalu, apa lagi?

"Lagi-lagi kau bicara begitu, Dahak. Janganlah..." kata Paman Adica habis sabar. Sukses membuatnya dihadiahi sikutan Paman Revan.

Dokter Tian tersenyum. "Aku tak keberatan mengurus anak lagi. Bunga dan Lisa pasti senang punya adik."

"Tidak, tidak. Cukup Bunga dan Lisa saja." tolak Ayah Calvin halus.

Paman Revan dan Paman Adica meggelengkan kepala. Mereka tak suka dengan pembicaraan ini. Seakan ada energi keputusasaan, ada untaian harapan yang putus.

Putus asa, Jose mengobrak-abrik meja kerja. Membalikkan buku-buku, membuka map, merobek lipatan kertas, dan membuka kain pelapis printer. Seakan berharap menemukan Ayah Calvin bersembunyi di baliknya. Saat itulah sebuah botol putih meluncur jatuh.

"Obat?" Jose bertanya-tanya, menimangnya.

"Ini kan obatnya Ayah..."

Hati Jose terasa peddih. Selalu begitu, tiap kali dia melihat obat milik sang ayah. Ayah Calvin yang harus minum obat setiap hari. Entah kapan sembuhnya. Kalau boleh, Jose mau menggantikan Ayah Calvin. Biar saja sakit itu pindah ke tubuhnya. Biar saja dia yang harus minum obat-obat itu. Asalkan Ayah Calvin sehat kembali.

Pelan-pelan Jose berjalan ke ruang musik. Duduk di depan kursi piano, ia mulai memainkan benda hitam-putih itu.

Telah lama sendiri

Dalam langkah sepi

Tak pernah kukira

Bahwa akhirnya

Tiada dirimu di sisiku

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu

Mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau buka hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Tak pernah kuduga

Bahwa akhirnya

Tergugat janjimu dan janjiku

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau bukan hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau bukan hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

**   

Hari kelima bulan mulia. Senja itu, Ayah Calvin mengajak Paman Revan dan Paman Adica ke rumahnya. Rumah bertingkat tiga yang paling besar di kompleks tiu jadi lebih ramai. Biasanya akn sepi.

Paman Revan datang tanpa Silvi. Silvi bersama Sharon, begitu aktanya. Jose jadi eksepian. Dia dikelilingi tiga pria dewasa berjas rapi. Sudah rapi, tampan algi. Mata biru Paman Revan yang paling mencolok di antara lainnya.

"Wow, Calvin. Aku baru sadar kau masih menyimpan ini." tunjuk Paman Revan ke arah patung-patung Buddha yang tersandar di rak dinding.

"Beralih darinya bukan berarti aku berhenti mencintainya, kan?" Ayah Calvin tersenyum penuh arti.

Sementara itu, Paman Adica melakukan hal yang tak pernah dia alkukan sebelumnya. Dia mengangkat tubuh Jose, lalu menempelkan pipinya ke pipi anak itu.

"Baik-baik saja, anak nakal?" sapanya dengan gaya khas itu.

Jose diam saja. Benarkah kata Ayah Calvin? Sebenarnya Paman Adica sayang Jose, seperti juga Paman Revan. Ah, entahlah. Sejurus kemudian, Paman Revan menurunkan Jose dari gendongan Paman Adica.

"Hari ini lancar kan, Nak?" Paman Revan emnanyai Jose, sikapnya fatherly.

Sebagai ajwaban, Jose emngangkat ekdua jempolnya. Paman Revan tersenyum bangga. Paman Adica tersenyum angkuh.

"Kukira kau sembunyi-sembunyi mengambil air dari dispenser, anak nakal." cetusnya.

Jose mengepalkan tangan. Andai tak ingat Ayah Calvin dengan tutur kata lembutnya, sudah pasti dia akan membalas Paman Adica. Namun, diam menjadi pilihan. Dia mencontoh sikap tenang Ayah Calvin.

Kelezatan baklava sedikit mengobati kekesalan Jose. Ayah Calvin selalu bisa menyenangkan tamu-tamunya. Makanan Indonesia, masakan peranakan, dan sajian khas Turki tersaji lengkap.

Selesai makan, Jose bermain sendiri di lantai atas. Kemarin Ayah Calvin membelikan banyak mainan untuknya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Salah satu mobil-mobilannya ketinggalan di ruang makan. Tergesa dia kembali turun ke bawah.

Tiga senti. Dua senti. Satu senti tangannya di dekat pintu ruang makan, Jose urung membukanya. Tertangkap olehnya beberapa patah kata.

"...Hanya kalian yang aku percaya."

Suara bass lembut dan empuk itu...suara Ayah Calvin. Pintu dibuka sedikit. Ayah Calvin duduk memunggungi pintu. Paman Revan dan Paman Adica di kanan-kirinya.

"Aku sudah melihat surat wasiatmu. Surat wasiat yang bagus sekali, Dahak. Sebagian besar kekayaanmu untuk Jose. Bagian lainnya untuk yayasan peduli kanker." komentar Paman Adica seraya membolak-balik sehelai surat.

Jose menahan napas. Ayahnya sudah bikin surat wasiat?

"Adica, maukah kau menjaga Jose? Bayangkan bila aku seperti pasien kanker stadium terminal di rumah sakit itu..." gumam Ayah Calvin lirih.

Paman Adica melotot kaget. Mata Paman Revan membola.

"Kau tak salah memilihku? Jose pasti menolak..."

Ayah Calvin menghela nafas berat. " Kau belum punya anak. Sebentar lagi kau juga akan menikah dengan Asyifa. Jadi, kalian bisa bersama-sama merawatnya."

Mendengar itu, Paman Adica menunduk menatap cincin di jari manisnya. Benar juga.

"Revan sudah punya Silvi. Aku ingin Jose dirawat dengan maksimal."

"Aku bisa merawat Jose dan Silvi tanpa pilih kasih!" sela Paman Revan bersemangat.

"Tidak, Revan. Kau harus fokus dengan Silvi. Lebih sulit mengurus dua anak..."

Tangan Paman Adica melayang ke atas meja. Botol-botol saus melompat.

"Dengarkan aku, Mr. Plegm! Daripada sibuk mencari ayah pengganti untuk Jose, lebih baik kaupikirkan kesembuhanmu! Sungguh tidak berguna!"

Air bening membayangi pelupuk mata Ayah Calvin. Pada saat bersamaan, darah segar mengalir dari hidungnya. Ayah Calvin tak sengaja menelan darahnya sendiri.

"Aku terlalu menyayangi Jose. Jika aku meninggal, siapa yang akan merawatnya? Harus ada yang melanjutkan tugasku..."

Brak!

Pintu ruang makan terbanting membuka. Jose berdiri dengan wajah pias. Ketiga pria dewasa berjas rapi membeku.

"Jose...Nak."

"Sayang...anak Ayah."

"Anak nakal..."

Ketiganya berucap berbarengan. Tanpa dikomando, mereka menghambur ke pintu. Ayah Calvin paling cepat. Ia menangkap Jose ke dalam pelukannya.

**   

Pajangan kristal pecah. Pigura foto terlempar. Kursi-kursi terbalik. Bulu-bulu berhamburan keluar dari bantal sofa. Kaki meja patah. Koleksi jam tangan mahal, parfum, dan buku-buku berserakan.

"Silakan teruskan menghancurkan barang-barang. Ayah memang punya terlalu banyak barang." ujar Ayah Calvin tenang.

Betapa herannya Jose. Ayah Calvin tidak marah. Tidak berusaha mencegahnya merusak barang-barang.

Jose mengamuk. Beban kesedihannya terlampiaskan. Pecahan kaca digoreskan ke jarinya. Tangan Ayah Calvin baret-baret lagi.

"Jose ingin melukai Ayah! Ayah jahat!" teriaknya.

"Silakan..." Ayah Calvin mengulurkan tangan, mengizinkan Jose melukainya.

Srettt...

Goresan lagi. Baret lagi. Darah lagi. Tertangkap kilat kesakitan di mata itu, tetapi Ayah Calvin tak berkata apa-apa.

"Ayah mau tinggalin aku! Ayah nggak sayang lagi sama aku!" teriak Jose.

"Tidak, Sayang. Ayah hanya..."

"Aku nggak mau tinggal sama Paman Adica dan Paman Revan! Aku nggak mau ditinggal-tinggal Ayah Calvin! Ayah Jose Cuma satu! Ayah Calvin Wan!"

Tergetar hati Ayah Calvin mendengarnya. Jose hanya menyebut namanya. Jose hanya ingin dirinya.

"Bagaimana kalau Ayah Calvin Wan tidak bisa memelukmu lagi?" ucap Ayah Calvin, suaranya bergetar.

"Tidak akan ada yang memeluk Jose lagi! Ayah Calvin saja yang bisa!" balas Jose.

"Siapa yang akan merawatmu ketika Ayah sudah pergi?"

"Allah. Biar Allah rawat aku, sampai aku bisa bertemu Ayah di akhirat selamanya."

Hening, sempurna hening. Tak diduganya Jose akan menjawab begitu. Resah menghinggapi hati. Siapkah Jose hidup tanpa kasih sayang seorang ayah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun