Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Dear Malaikat Izrail] Kemanakah Perdamaian?

6 April 2019   06:00 Diperbarui: 6 April 2019   06:07 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemanakah Perdamaian?

Ayah Calvin seperti malaikat. Lihatlah, pagi ini ia berdiri di belakang Silvi. Memeluk pundaknya lembut. Menenangkan gadis kecil nan cantik yang terus menangis.

Setelah Silvi lebih tenang, Ayah Calvin memakaikan gaun putih panjang ke tubuh Silvi. Merapikan lipatannya. Memastikan gaun itu terpasang indah. Mengaitkan kancing-kancing mutiara di bagian punggung.

Kotak aksesoris dibuka. Dua buah karet gelang diambil. Ayah Calvin mengepang rambut Silvi.

Walau tak punya anak perempuan, Ayah Calvin bisa mengepang dan menguncirkan rambut gadis itu dengan rapi. Bahkan lebih rapi daripada hasil kepangan Paman Revan.

"Ayo, Sayang. Gabriel sudah menunggu." Ayah Calvin meraih lembut tangan Silvi. Menuntunnya keluar hotel.

Limousine hitam itu meluncur ke rumah sakit. Tiba di sana, Silvi berlari ke ruang ICU. Gaun putihnya berkibaran. Ia bertabrakan dengan Jose di koridor depan ruang ICU.

"Gabriel...!"

Silvi dan Jose berpelukan, lalu bertangisan. Ayah Calvin, yang telah menyusul Silvi, terenyak. Ia paham perasaan anak-anak itu. Livio dan Hito meninggal. Andrio kritis. Bagaimana mereka tidak sedih?

"Andrio baik banget sama aku, Gabriel! Andrio nggak boleh mati! Nggak boleh!"

"Iya, aku tahu. Dia sering belain kamu pas kamu dibully. Silvi...ini kan gaun yang kamu pakai waktu drama musikal?"

Silvi mengangguk. Ia merasa deja vu. Dua tahun lalu, ia memainkan drama musikal bersama Jose, Livio, Andrio, dan Hito. Lagu yang dibawakannya cukup sulit. Andrio menyemangati Silvi. Silvi berhasil membawakan lagu dengan sempurna. Tanpa sadar, Silvi bernyanyi.


Walaupun jiwaku pernah terluka

Hingga nyaris

Bunuh diri

Wanita manaYang sanggup hidup sendiri

Didunia ini

Walaupun t'lah kututup mata hati

Begitupun telingaku

Namun bila dikala cinta

Memanggilmu

Dengarlah ini

Walaupun dirimu tak bersayap

Ku akan percaya

Kau mampu terbang bawa

Diriku

Tanpa takut dan ragu...

Silvi terisak-isak. Ia tak sanggup lagi melanjutkan. Jose dan Ayah Calvin bergantian memeluknya.

"Jangan takut, Sayang. Ada Ayah Calvin di sini...ada Gabriel, ada Papa Revan." hibur Ayah Calvin.

Kedua bahu Silvi terguncang menahan isak. Teringat saat Andrio membelanya dari Adi. Adi yang rasis, jahat, dan suka bully orang. Silvi takkan pernah lupa itu.

"Ayah...Ayah belum jawab pertanyaan aku. Teroris itu apa? Apa mereka yang bikin Andrio kayak gitu?" tunjuk Jose ke jendela kaca. Terlihat Andrio terbaring lemah dengan banyak selang terpasang di tubuhnya. Tempat tidurnya dikerumuni dokter dan perawat.

"Jose Gabriel Calvin...anak Ayah yang baik," Ayah Calvin memanggil lembut nama Jose.

"Teroris itu orang-orang yang benci perdamaian. Mereka menolak hidup damai karena nggak suka perbedaan. Makanya, Jose sama Silvi harus cinta damai ya. Nggak boleh benci siapa pun hanya karena beda dari kalian."

Lembut, lembut sekali Ayah Calvin menasihati mereka. Nada suaranya terdengar sedih. Jose dan Silvi mengangguk patuh. Mereka berjanji takkan membenci perbedaan.

Jemari Silvi memegang erat ujung gaunnya. Diangkatnya sedikit kain halus itu. Mata birunya terhujam ke langit-langit. Coba aja gaun ini bisa jadi jubah perdamaian, bisik hatinya. Livio dan Hito pasti masih ada. Dan Andrio tak perlu kritis begini.

Perdamaian, kemanakah kau berada? Kenapa orang dewasa gemar sekali merusak perdamaian? Kenapa perdamaian dirusak hanya karena berbeda?

Dimanakah akan dicari perdamaian? Rumah ibadah saja diledakkan. Silvi tak tahu, sungguh tak tahu harus kemana untuk mencari damai itu.

Tak lama, seorang pengunjung lewat. Ia seorang lelaki bercelana dan berkemeja hitam. Jose berteriak, satu tangannya menutup mata. Refleks Ayah Calvin mendekat.

"Kenapa, Sayang?"

Silvi tersentak mendengar teriakan Jose. "Gabriel kenapa?"

"Aku nggak suka baju hitam! Orang-orang yang meledakkan bom itu...bajunya juga hitam!"

Ayah Calvin merengkuh Jose. Bagaimana ini? Padahal Ayah Calvin sering memakai jas hitam. Kasihan Jose.

"Nggak perlu takut, Sayang. Nggak semua orang yang bajunya hitam itu jahat..." Ayah Calvin berbisik menenangkan.

Lihatlah itu. Lihatlah betapa dalam luka dan ketakutan akibat robeknya perdamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun