Sulit, sulit bagi Revan untuk berhenti menyesali kondisinya. Gegara kanker, rencana pernikahannya dengan Calisa tertunda begitu lama. Entah gadis itu masih mau hidup bersamanya atau tidak. Orang normal akan berpikir ratusan kali untuk mendampingi pasangan yang tidak sehat.
Melihat kesedihan di paras Revan, Calvin terhanyut arus perasaan yang sama. Lautan kesedihan menyerbu dadanya. Silvi, bagaimanakah keadaan Princessnya sekarang? Masihkah dia bersedih karena Calvin lama tak di sampingnya? Calvin menyesal, teramat menyesal. Jika penyakit ini tidak mengganas, dia masih bisa mengurus Silvi. Menemaninya, membacakannya buku, menghapus air matanya, memeluknya, memilihkan gaun untuknya, membantunya merawat bunga lily, memotongkan makanan di piringnya, menuangkan gula ke gelasnya, dan menenangkan Silvi saat mantan model itu kesakitan. Ketakutan bangkit di hati Calvin. Bagaimana bila orang-orang yang diperintahkannya menjaga Silvi tidak mengerti? Bagaimana bila mereka gagal paham dan memperlakukan istrinya dengan tidak benar?
Wajah kedua temannya membiru duka. Memangnya hanya mereka yang bersedih? Adica ingin menumpahkan bebannya ke langit ungu-kemerahan, ingin lari dari kenyataan, ingin kabur dari rumah sakit, ingin memeluk Syifa. Rindukah Syifa padanya? Bukankah sebelum ia terpenjara di sini, Syifa mengatakan bahwa ia sangat mencintai Adica? Lantas, mengapa ia tak pernah datang? Tidak, pasti ini di luar kemauan Syifa. Pastilah Abi Assegaf menegakkan tembok pemisah di antara mereka. Perih, perih sekali.
** Â Â
Koridor ruang VIP gaduh. Sosok-sosok putih berlarian. Sebagian menangis, sebagian shock, sebagian tetap tenang. Keheningan sepertiga akhir malam robek seketika.
Bisik-bisik tertahan. Wajah-wajah panik menyeruak. Derap langkah kaki bersahutan.
Sungguh, belum pernah rumah sakit terasa sebegitu menyesakkan. Apa yang baru saja terjadi berada di luar nalar. Hanya iman dan kasih yang membuat mereka kuat memasuki tiga kamar itu.
"Masya Allah, benarkah?" desis seorang perawat senior dengan rambut beruban.
"Iya. Aku juga tak percaya."
"Lihat saja surat kematiannya. Pasien kamar 397, 398, dan 399 meninggal dunia pukul tiga pagi lewat tiga menit lewat tiga detik."
"Subhanallah. Padahal kemarin aku masih mendengar mereka bermain musik."