Tak perlu jauh-jauh ke Pulau Dewata untuk mendalami sepi. Tak perlu menunggu Hari Raya Nyepi untuk merasakan heningnya hati. Datang saja ke sayap timur rumah sakit besar di bilangan utara kota ini.
Malaikat tampan bermata sipit itu terbaring lemah. Satu tangannya menyentuh selang di hidungnya. Respirator? Infus? Elektrokardiograf? Life support? Untuk apa semua peralatan medis dipasangkan ke tubuhnya? That's not life.
"Silvi..." lirih Calvin berulang kali.
"Silvi, maafkan aku. Maaf, aku belum bisa menjagamu lagi..."
"Tak perlu minta maaf! Kalau kau merasa bersalah, keluarkan aku dari tempat ini! Aku ingin bertemu adikku!"
Pria orientalis berpiyama biru itu meneriaki suster. Lengan kanannya menghantam tepi ranjang. Kepalanya ia benturkan ke dinding.
"Tuan Adica, tolong jangan banyak bergerak dulu. Anda baru selesai cuci darah."
Darah. Tetesan darah mengalir dari hidung Revan. Laki-laki Manado Borgo berambut pirang itu menyeka hidungnya.
"Ya, Allah, sampai kapan aku harus merasakan sakit ini?"
Ini potongan mozaik terburuk dalam hidupnya. Calvin bahkan lebih suka menyepi bertahun-tahun di Papua New Guinea ketimbang terkurung di ruang rawat VIP. Ia benci, benci pada kondisi tubuhnya. Rumah sakit bagai penjara cinta. Penjara yang memisahkan Calvin dengan Silvi.
"Asyifa Assegaf...aku mencintaimu." Adica berbisik, suaranya bergetar hebat. Tertahan kesedihan dan frustrasi.
"Calisa...ingatkah kamu akan rencana pernikahan kita?" desah Revan. Tangan kurusnya meraih harpa di atas nakas, lalu mulai memainkannya.
Jemari lentik Calvin menekan tuts-tuts piano. Tak sia-sia ia membayar mahal agar bisa memasukkan piano ke ruang rawatnya. Adica menggesek bow, terhipnotis dengan alunan biolanya sendiri. Mata biru Revan berkaca-kaca selagi memainkan harpa.
Haruskah aku bertekuk lutut
Memohon kau terima diriku
Kalau perlu kaubelah dadaku
Agar kau tahu isi dalam hatiku
Karena hatiku mengatakan kamu
Yang paling mengerti di antara yang mengerti
Dan hidupku berharap padamu
Lewat lagu ini
Aku ungkapkan perasaanku
Cintaku tak terukur dalamnya
Pengorbananku tak ada habisnya
Apa lagi yang harus kulakukan
Tuk yakinkan hanya kaulah satu-satunya
Karena hatiku mengatakan kamu
Yang paling mengerti di antara yang mengerti
Dan hidupku berharap padamu
Lewat lagu ini
Aku ungkapkan perasaanku
Perasaanku...
Karena hatiku mengatakan kamu
Yang paling mengerti di antara yang mengerti
Dan hidupku berharap padamu
Lewat lagu ini
Aku ungkapkan perasaanku
Lewat lagu ini
Aku ungkapkan perasaanku
Apa lagi yang harus aku lakukan
Tuk yakinkan hanya kaulah satu-satunya (D'masiv ft Iwan Fals-Satu-Satunya).
** Â Â
Tangan takdir mempertemukan mereka. Ketiga pria tampan itu bertemu di taman rumah sakit.
Belum pernah atmosfer taman rumah sakit sesejuk ini. Bangku-bangku taman tersenyum, rerumputan menyapa, pepohonan melambai, kuntum-kuntum mawar putih merayu, dan air mancur bernyanyi. Mereka tiba tepat ketika langit senja begitu memesona. Berkas terakhir keemasan sisa mentari terbenam berpadu indah dengan lukisan warna ungu-kemerahan. Kedatangan tiga pasien tampan membuat taman rumah sakit kian berseri.
Calvin datang memakai kursi roda. Ia menatap sedih bangku berukir. Andai saja ia bisa duduk di sana.
"Kau mau duduk di bangku itu?"
Tanpa diduga, Revan dan Adica menawarkan bantuan. Berdua mereka memapah Calvin ke bangku taman. Lalu keduanya duduk di kanan-kiri Calvin.
"Well, setidaknya kami lebih beruntung." Revan berkata pelan.
"Iya. Kami tak perlu bergantung pada kursi roda bodoh itu. Tidak seperti...ah, siapa namamu?" tunjuk Adica ke arah Calvin. Tak bisa menghilangkan gaya angkuhnya.
"Calvin,"
Tangan Calvin terulur. Ia tersenyum pada dua kawan barunya. Mereka bertiga pun berkenalan.
"Penyakit apa yang membuatmu harus memakai kursi roda?" tanya Revan hati-hati.
"Kanker tulang belakang. Sudah metastasis ke seluruh tulangku. Ke paru-paruku juga."
Adica mendesah tak sabar. "Kau beruntung hanya tidak bisa berjalan. Nah aku..."
"Kamu kenapa, Adica?"
"Tidak bisa minum. Mau minum saja harus dibatasi. Tidak boleh lebih dari satu liter. Setelah makan, baru boleh minum setengah jam kemudian. Kalau aku kebanyakan minum dan bolos cuci darah, tubuhku bisa membengkak seperti monster."
Putra sulung keluarga Assegaf itu tertawa miris. Calvin dan Revan menepuk-nepuk lembut punggungnya.
"Yah, setidaknya kalian masih bisa melihat. Masih bisa menikmati langit senja yang indah."
"Apa maksudmu, Revan?" sergah Adica tajam.
Revan menghela napas. Sedikit menunduk, merasakan perih di kedua matanya.
"Retinoblastoma. Buat apa punya mata indah tapi membawa penyakit? Kebetulan saja aku hafal lingkungan rumah sakit ini, jadinya tidak perlu pakai tongkat."
Calvin dan Adica terenyak. Mata Revan sangat indah. Tapi...
"Jarang sekali ada orang Indonesia bermata biru." ungkap Adica.
"Iya. Dan aku menyesal punya mata seperti ini."
"Jangan menyesali keadaan, Revan."
Sulit, sulit bagi Revan untuk berhenti menyesali kondisinya. Gegara kanker, rencana pernikahannya dengan Calisa tertunda begitu lama. Entah gadis itu masih mau hidup bersamanya atau tidak. Orang normal akan berpikir ratusan kali untuk mendampingi pasangan yang tidak sehat.
Melihat kesedihan di paras Revan, Calvin terhanyut arus perasaan yang sama. Lautan kesedihan menyerbu dadanya. Silvi, bagaimanakah keadaan Princessnya sekarang? Masihkah dia bersedih karena Calvin lama tak di sampingnya? Calvin menyesal, teramat menyesal. Jika penyakit ini tidak mengganas, dia masih bisa mengurus Silvi. Menemaninya, membacakannya buku, menghapus air matanya, memeluknya, memilihkan gaun untuknya, membantunya merawat bunga lily, memotongkan makanan di piringnya, menuangkan gula ke gelasnya, dan menenangkan Silvi saat mantan model itu kesakitan. Ketakutan bangkit di hati Calvin. Bagaimana bila orang-orang yang diperintahkannya menjaga Silvi tidak mengerti? Bagaimana bila mereka gagal paham dan memperlakukan istrinya dengan tidak benar?
Wajah kedua temannya membiru duka. Memangnya hanya mereka yang bersedih? Adica ingin menumpahkan bebannya ke langit ungu-kemerahan, ingin lari dari kenyataan, ingin kabur dari rumah sakit, ingin memeluk Syifa. Rindukah Syifa padanya? Bukankah sebelum ia terpenjara di sini, Syifa mengatakan bahwa ia sangat mencintai Adica? Lantas, mengapa ia tak pernah datang? Tidak, pasti ini di luar kemauan Syifa. Pastilah Abi Assegaf menegakkan tembok pemisah di antara mereka. Perih, perih sekali.
** Â Â
Koridor ruang VIP gaduh. Sosok-sosok putih berlarian. Sebagian menangis, sebagian shock, sebagian tetap tenang. Keheningan sepertiga akhir malam robek seketika.
Bisik-bisik tertahan. Wajah-wajah panik menyeruak. Derap langkah kaki bersahutan.
Sungguh, belum pernah rumah sakit terasa sebegitu menyesakkan. Apa yang baru saja terjadi berada di luar nalar. Hanya iman dan kasih yang membuat mereka kuat memasuki tiga kamar itu.
"Masya Allah, benarkah?" desis seorang perawat senior dengan rambut beruban.
"Iya. Aku juga tak percaya."
"Lihat saja surat kematiannya. Pasien kamar 397, 398, dan 399 meninggal dunia pukul tiga pagi lewat tiga menit lewat tiga detik."
"Subhanallah. Padahal kemarin aku masih mendengar mereka bermain musik."
"Aku masih melihat mereka di taman rumah sakit sembilan jam lalu. Ah, beruntunglah mereka. Meninggal di hari Jumat, hari yang baik sekali."
Atmosfer kesedihan menggantung berat di unit VIP. Tepat sebelum kain putih menyelimuti tubuh-tubuh indah nan proporsional itu, para perawat masih bisa menatapi wajah tampan mereka. Damai, tenang, terbebas dari guratan kepedihan. Wajah ketiga pasien itu semakin tampan dipeluk maut.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI