"Kamu kenapa, Adica?"
"Tidak bisa minum. Mau minum saja harus dibatasi. Tidak boleh lebih dari satu liter. Setelah makan, baru boleh minum setengah jam kemudian. Kalau aku kebanyakan minum dan bolos cuci darah, tubuhku bisa membengkak seperti monster."
Putra sulung keluarga Assegaf itu tertawa miris. Calvin dan Revan menepuk-nepuk lembut punggungnya.
"Yah, setidaknya kalian masih bisa melihat. Masih bisa menikmati langit senja yang indah."
"Apa maksudmu, Revan?" sergah Adica tajam.
Revan menghela napas. Sedikit menunduk, merasakan perih di kedua matanya.
"Retinoblastoma. Buat apa punya mata indah tapi membawa penyakit? Kebetulan saja aku hafal lingkungan rumah sakit ini, jadinya tidak perlu pakai tongkat."
Calvin dan Adica terenyak. Mata Revan sangat indah. Tapi...
"Jarang sekali ada orang Indonesia bermata biru." ungkap Adica.
"Iya. Dan aku menyesal punya mata seperti ini."
"Jangan menyesali keadaan, Revan."