"Besok Safa bisa kasih ceritanya kok. Atau Safa titip sama Opa. Nanti..."
Derit pintu pagar menyela. Seorang kurir mengucapkan salam. Diserahkannya amplop coklat berlogo rumah sakit pada Tuan Effendi. Nama Dokter Tian tertera di kolom pengirim.
Dada Tuan Effendi berdebar kencang. Sudah keluarkah hasilnya? Tergesa-gesa ia masuk ke villa. Mengenyakkan diri di sofa, satu tangan memegangi dada. Berusaha meredam degup jantungnya.
Tangannya bergetar hebat, sampai-sampai amplop ikut bergetar. Sehelai kertas tebal mengilat meluncur keluar. Keringat dingin membanjiri dahi, tangan, dan punggungnya. Ia tak sabar, ingin segera tahu hasilnya.
Semenit. Tiga menit. Lima menit, mata Tuan Effendi berbinar bahagia. Bahagia yang ia nantikan selama belasan tahun. Bunga-bunga api buncah ke langit hatinya. Ya, Tuhan, ini sungguh karunia terindah. Telah lama dia menunggu kabar baik itu. Janji datang menjemput di tepi pantai.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Nuansa ungu keemasan memenuhi ballroom. Kesejukan air conditioner berbaur dengan wangi bunga. Seorang pianis wanita memainkan Mozart Hafner in D Major no. 35. Lima puluh konfeti berbentuk hati ditaburkan. Hiasan-hiasan geometris berwarna emas tergantung di dinding. Meja-meja kayu dengan kursi berwarna senada dihiasi rangkaian bunga putih. Terdapat foto booth dengan rangkaian sederhana dan pigura berbingkai emas. Menu Barat, Indonesia, Timur Tengah, dan oriental tersaji lengkap.
Tak henti Dokter Tian melempar pandang kagum ke arah dekorasi itu. Di sampingnya, Nyonya Dinda, gagal berpura-pura dingin. Ia sama kagumnya.
"Indah," puji Nyonya Dinda.
"Iya, Dinda. Kapan kita bisa merayakan ulang tahun pernikahan seindah ini?"