-Semesta Calvin-
Seminggu setelah kemoterapi, Calvin demam dan flu berat. Efek samping itu belum hilang juga. Calvin merasakan keletihan luar biasa. Yang paling berat ketika waktu makan tiba. Rasa mual menghebat berujung muntah membuat Calvin kehilangan selera.
Meski sakit, Calvin masih sanggup merawat Abi Assegaf. Pria yang dirawatnya itu tak tahu bila caregivernya sakit. Calvin pandai menyembunyikan kondisi tubuhnya.
Bisa saja Calvin bersembunyi dari Abi Assegaf. Tapi tidak dengan Revan. Jarak Turki-Indonesia ditambah perbedaan waktu 4 jam yang memisahkan, justru membuatnya semakin peka pada kondisi sahabatnya.
"Apa kataku, kemoterapi itu obat bodoh. Sel kanker dia hancurkan, sel sehat dia bunuh. Coba saja kau mau ikut aku ke Jerman waktu itu. Kau bisa dapat terapi yang lebih ringan. Imunoterapi atau stemp sel misalnya." cecar Revan panjang lebar.
Hening. Revan kembali bicara.
"Kamu yakin mau melakukannya sekarang? Atau tunggu kamu sembuh dulu?"
Calvin tertawa, lalu terbatuk. "Sampai Justin Bieber bisa menari Bali, kemungkinanku untuk sembuh sangat kecil."
"Jangan bilang begitu. Kamu pasti sembuh, Calvin."
Keraguannya terbuang. Virtual atau bukan, ia harus melakukannya sekarang juga. Calvin takut dengan menipisnya waktu. Satu helaan nafas, satu kesempatan yang diberikan Allah untuk bertobat.
Di layar, nampak Revan ditemani ketiga sepupu Muslimnya. Empat saksi di bumi, Allah dan para malaikat di langit. Allah Maha Mengerti. Malaikat tampan bermata sipit itu berujar lembut, sangat lembut.