Belum sempat pertanyaan itu terjawab, Calvin terbatuk. Refleks ia meraih tissue dan menangkupkannya. Calvin terbatuk beberapa kali. Tepat pada saat itu, Adeline meliriknya cemas.
"Nak, kamu kenapa?" tanya Adeline lembut.
Helaian tissue dipenuhi noda darah. Calvin, Adica, dan Adeline terbelalak.
"Adica Sayang, cepat beri tahu Abimu." Adeline berkata cemas. Kekhawatiran tercermin di mata beningnya. Kekhawatiran khas seorang ibu.
"Tidak...tidak perlu. Saya baik-baik saja." Calvin mencegah, sedikit memaksakan diri.
Perasaannya berkecamuk. Ya, Tuhan, apa lagi kali ini? Mengapa ia mulai sering batuk? Awalnya ia kira hanya karena gejala flu dan efek cuaca yang tidak menentu. Bukan, ternyata bukan itu.
** Â Â
-Semesta Tuan Effendi-
Sudah berulang kali ia bolak-balik ke lantai 27. Tujuannya hanya satu: mencari Calvin. Dalam hati Tuan Effendi memaki-maki dirinya sendiri.
Bodohnya ia lupa menanyakan nomor apartemen Calvin. Dia hanya tahu Calvin tinggal di lantai 27. Sedangkan unit di sini cukup banyak. Percuma bertanya pada penghuni lain. Mereka kelewat individualis. Jangankan menyapa, saling kenal sesama penghuni apartemen pun tidak. Kepekaan sosial telah digerus kemajuan teknologi.
Meminta bantuan resepsionis? Nihil, Tuan Effendi gengsi berurusan dengan wanita mungil itu lagi. Lebih baik dicarinya sendiri. Meski harus berkorban waktu.