"Dia lancang sekali, Abi. Berani main piano di sini. Memangnya dia pikir dia siapa?"
Abi Assegaf tertawa kecil. "Abi senang piano itu dimainkan, Sayang."
Adica menghempas nafas kesal. Kepulangannya di pagi yang dingin membawa segumpal kecewa. Ia tak habis pikir mengapa Abi Assegaf menyewa caregiver.
Terdengar denting gelas beradu dengan meja. Disusul bunyi adukan sendok. Setelah menyesap teh Earl Greynya pelan-pelan, si anak semata wayang mengungkapkan sesuatu.
"Aku keluar dari radio, Abi. Terlalu banyak intrik. Naskah sandiwara radio dan ketulusanku disalahartikan."
Jadi, ini alasan Adica pulang. Mencari kenyamanan di tengah intrik kantor. Abi Assegaf mengusap-usap lengan putranya.
"Abi tahu rasanya, Sayang. Semoga kamu mengambil keputusanmu dengan kepala dingin."
"Apakah ini tandanya jodoh?"
"Apa maksudmu?"
"Perkataan Abi sama seperti Ummi."
Detak di dada Abi Assegaf bertambah cepat. Lupakah Adica bila ayahnya tak boleh terlalu diforsir kerja jantungnya? Wajah Abi Assegaf tertunduk. Tidak, semuanya telah berlalu.