Mana ada teknik pemasaran produk jurnalistik seperti itu? Yang namanya pemasaran, harusnya dijual di toko buku, kios/lapak penyedia tabloid, agen, distributor, atau secara online dong.
Eits, Young Lady tidak asal berpendapat. Seperti dilansir BBC Indonesia, Dewan Pers juga tidak setuju kalau Indonesia Barokah disebut sebagai produk jurnalistik.Â
Mereka melihat dari konten dan redaksi. Bila dilihat dari kontennya, menurut mereka, tulisan-tulisan di dalamnya tidak melewati proses konfirmasi, verifikasi, dan klarifikasi.Â
Tulisan-tulisannya cenderung merujuk pada opini dan mengutip media-media lain. Hal ini jelas melanggar kaidah produksi karya jurnalistik.
Hasil telusuran Dewan Pers, nama-nama dewan redaksi tidak tercantum dalam log book Dewan Pers. Semestinya, dalam sebuah redaksi, minimal Pemrednya yang lulus ujian kompetensi. So, Indonesia Barokah sama sekali tidak layak disebut produk jurnalistik.
Nah, apa kata Young Lady. Ku tak percaya, kayak lagunya Letto. Ku tak percaya bila Indonesia Barokah disebut tabloid. Orang yang menyebut Indonesia Barokah sebagai tabloid, artinya dia over convidence atau tak paham ilmu jurnalistik.Â
Mana ada tabloid berbahasa kaku, tanpa iklan, tanpa informasi ringan, dan tanpa konten kreatif? Indonesia Barokah lebih mirip buku kumpulan esai atau pamflet gelap.
Bila sebagian orang resah karena Indonesia Barokah, Young Lady malah tertawa. Buat apa meresahkan tabloid abal-abal? Pembuatnya saja stupid, tidak bisa membedakan antara produk jurnalistik dan buku kumpulan esai.
Ups, bukan sebagian orang sih yang gelisah. Tapi itu tuh, koalisi pembohong di sebelah. Mereka pastinya very very afraid gitu kan? Jelas-jelas nama mereka dijelek-jelekkan di kumpulan tulisan itu.Â
Kalo kubu petahana dukungan Young Lady sih selow, malah makin banyak yang support. Iya dong, orang baik banyak yang sayang.
Anyway, Indonesia Barokah itu pro ke petahana. Tapi jelas-jelas caranya salah. Sebab sudah mengarah ke kampanye hitam. Meski tujuannya baik, tetap saja kampanye hitam tidak dibenarkan.