Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Indonesia Barokah Bukan Tabloid

2 Februari 2019   06:00 Diperbarui: 2 Februari 2019   06:02 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Kompas.com

Kompasianer, sudah ada yang baca 'tabloid' Indonesia Barokah? Young Lady sudah baca. Tepatnya minggu kemarin.

Ceritanya begini. Young Lady cantik penasaran apa isinya. Mengapa begitu ramai diperdebatkan dan menjadi layak untuk diperbincangkan setajam...ups, itu sih tagline program infotainment.

Seorang teman mengirimi Young Lady soft copy Indonesia Barokah. Jam makan siang pun Young Lady lewatkan dengan membacanya. Menuntaskan rasa penasaran.

Saat membacanya...

Semenit. Tiga menit. Lima menit, oh my Baby, demi Justin Timberlake yang bisa menari Bali, Young Lady tertawa. Tertawa cantik.

Iya, Young Lady tertawa. Kenapa coba? Karena isinya sama sekali jauh dari tabloid!

Coba, Young Lady tanya sama yang udah baca. Kalian sadar nggak, bahasa dalam tulisan-tulisan di Indonesia Barokah itu sangat kaku. Terlalu kaku dan baku untuk sebuah tabloid. Para penulisnya, oknum-oknum antah berantah itu, tidak menguasai teknik penulisan artikel populer. 

Hellooooo, bedakan dong antara artikel populer dan artikel ilmiah. Kelihatan benar kalau para penulisnya tidak paham produk jurnalistik. Seserius apa pun isi sebuah tabloid, bahasanya tidak akan sekaku itu.

Itu dari sudut bahasa. Bagaimana dengan redaksinya? Fiktif, guys. Setelah ditelusuri, alamat kantor itu ternyata fiktif. Seperti dilansir detik.com.

Lebih aneh lagi, masa redaksi tabloid tidak punya nomor telepon kantor? Di halaman depan, hanya tercantum nomor handphone. Tabloid apaan itu? Redaksi abal-abal.

Dari sisi pemasaran pun janggal. Tabloid dan produk jurnalistik lainnya lazim dipasarkan dengan teknik marketing tertentu. Apalah itu, Young Lady tak paham soal marketing produk. Yang jelas, sistem pemasarannya bukan dikirimkan via pos ke pondok-pondok pesantren. 

Mana ada teknik pemasaran produk jurnalistik seperti itu? Yang namanya pemasaran, harusnya dijual di toko buku, kios/lapak penyedia tabloid, agen, distributor, atau secara online dong.

Eits, Young Lady tidak asal berpendapat. Seperti dilansir BBC Indonesia, Dewan Pers juga tidak setuju kalau Indonesia Barokah disebut sebagai produk jurnalistik. 

Mereka melihat dari konten dan redaksi. Bila dilihat dari kontennya, menurut mereka, tulisan-tulisan di dalamnya tidak melewati proses konfirmasi, verifikasi, dan klarifikasi. 

Tulisan-tulisannya cenderung merujuk pada opini dan mengutip media-media lain. Hal ini jelas melanggar kaidah produksi karya jurnalistik.

Hasil telusuran Dewan Pers, nama-nama dewan redaksi tidak tercantum dalam log book Dewan Pers. Semestinya, dalam sebuah redaksi, minimal Pemrednya yang lulus ujian kompetensi. So, Indonesia Barokah sama sekali tidak layak disebut produk jurnalistik.

Nah, apa kata Young Lady. Ku tak percaya, kayak lagunya Letto. Ku tak percaya bila Indonesia Barokah disebut tabloid. Orang yang menyebut Indonesia Barokah sebagai tabloid, artinya dia over convidence atau tak paham ilmu jurnalistik. 

Mana ada tabloid berbahasa kaku, tanpa iklan, tanpa informasi ringan, dan tanpa konten kreatif? Indonesia Barokah lebih mirip buku kumpulan esai atau pamflet gelap.

Bila sebagian orang resah karena Indonesia Barokah, Young Lady malah tertawa. Buat apa meresahkan tabloid abal-abal? Pembuatnya saja stupid, tidak bisa membedakan antara produk jurnalistik dan buku kumpulan esai.

Ups, bukan sebagian orang sih yang gelisah. Tapi itu tuh, koalisi pembohong di sebelah. Mereka pastinya very very afraid gitu kan? Jelas-jelas nama mereka dijelek-jelekkan di kumpulan tulisan itu. 

Kalo kubu petahana dukungan Young Lady sih selow, malah makin banyak yang support. Iya dong, orang baik banyak yang sayang.

Anyway, Indonesia Barokah itu pro ke petahana. Tapi jelas-jelas caranya salah. Sebab sudah mengarah ke kampanye hitam. Meski tujuannya baik, tetap saja kampanye hitam tidak dibenarkan.

Lama-lama Young Lady penasaran. Siapakah pelakunya? Siapakah otak di balik pembuatan Indonesia Barokah? Jangan-jangan orang dalamnya koalisi hoax. Bisa jadi, kan?

Mereka kan suka main sandiwara tuh. Tak terhitung banyaknya sandiwara buatan koalisi pendusta. Ada yang pura-pura dianiayalah, bikin reuni besar-besaran di Monaslah, takabur Indonesia Punahlah, pura-pura nangis minta fotolah...wah pokoknya banyak sandiwara yang mereka lakukan. 

Oh iya, Young Lady juga belum lupa. Ada juga sandiwara tempe setipis kartu ATM, sandiwara hoax RSCM, sandiwara episode menghina Menteri Keuangan, dan drama rasisme tampang Boyolali. Banyak ya, sampai susah menyebutkannya. Koalisi satu ini tidak cocok memimpin negara. Mereka cocoknya main teater saja.

Nah, siapa tahu Indonesia Barokah itu ulah mereka sendiri. Iya kan? Bisa jadi. Taktik playing victim. Mereka membuat diri terluka, membuat hancur tubuh mereka, agar bisa menjatuhkan lawan dengan menarik simpati sebanyak mungkin. Bila mereka pelakunya, ini sandiwara yang luar biasa. Luar biasa parahnya.

Makin dekat Pilpres, makin terbuka mata hati untuk menentukan siapa yang layak dipilih. Kompasianer, kalian tidak setuju kan, kalau Indonesia Barokah disebut tabloid?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun