"Maafkan istri saya," kata Abi Assegaf di tengah perjalanan.
"Tidak apa-apa. Arlita mencemaskan Anda. Beruntung Anda memilikinya..."
Suara Dokter Tian mengecil lalu menghilang. Ruang pemahaman membuka di labirin jiwa. Abi Assegaf mengerti kondisi pernikahan Dokter Tian. Istana cinta yang berantakan gegara kematian seorang anak.
"Pak Assegaf, Anda sudah minum obat?" tanya Dokter Tian tiba-tiba.
Abi Assegaf mengangguk sambil lalu. Sedikit tak nyaman ditanyai soal obat dan penyakitnya. Dokter Tian tersenyum puas.
Mobil meluncur terus, terus ke utara. Melewati pusat bisnis, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, Refrain Radio, dan perumahan nasional. Setengah jam berkendara, Dokter Tian menepikan mobilnya di gerbang pemakaman.
Turun dari mobil, Dokter Tian dan Abi Assegaf disambut kerumunan orang yang mengamuk. Teriakan-teriakan terdengar memecah keheningan pagi. Sejumlah orang bersarung dan berkopiah putih memukul-mukul gerbang pemakaman.
"Sampai kapan pun, kami tidak rela gerbang makam dihias mozaik salib!" teriak mereka.
Fanatisme beragama, itulah pangkal permasalahan. Dokter Tian dan Abi Assegaf saling tatap. Mengapa pemasangan mozaik salib harus dilarang? Sulitnya membendung manuver orang-orang mabuk agama.
Tanpa kata, Abi Assegaf mendekati kerumunan orang mabuk agama itu. Tepat ketika mereka akan memukuli penjaga makam dan petugas yang memasangkan mozaik salib. Sebuah tindakan nekat.
"Mengapa harus melarang atribut agama?" Abi Assegaf bertanya, lembut dan berwibawa.