Hujan bersenandung sedih. Gelegar petir memukul-mukul ulu hati. Lantai marmer bergetar keras.
"Effendi, jangan terlalu keras pada Calvin." tegur Nyonya Rose.
"Biarkan saja. Rose, aku tak suka anak kita dekat dengan adiknya." Tuan Effendi berkata dingin, kecewa sekali dengan perbuatan Calvin.
"Apa yang kaudapat darinya, My Dear Calvin? Hanya pembiaran, sikap dingin, dan luka."
Calvin menundukkan pandang, tak kuasa membalas tatapan tajam Papanya. Hatinya makin terluka ketika sang Papa melarangnya bersikap baik pada Adica.
"Adica anakku..." panggil Abi Assegaf.
Violinis dan penyiar itu berhenti menjulurkan tubuh di pagar teralis balkon. Ia memutar tubuh, mendapati Abi  Assegaf berdiri di belakangnya. Tangan kirinya menenteng dua stoples kue. Tangan kanannya memegang amplop dengan logo tertera di kanan atas.
"Abi ingin membagikan ini bersamamu. Ayo."
"Masih hujan, Abi..."
"Abi, Abi! Dia bukan Abimu!"
Nada suara Tuan Effendi kembali meninggi. Hal yang paling dibenci Calvin adalah kekasaran orang tua pada anak. Terlebih bila si orang tua tidak konsisten.