"Wait and see."
Tegas, Abi Assegaf menyuruh putrinya menunggu dan melihat. Dengan kesigapan tak terduga, pria tampan yang tak lagi muda itu melangkah menghampiri sang suster. Abi Assegaf menyapa suster itu, lalu bertanya.
"Kenapa Anda tidak makan?"
"Saya sudah kenyang," jawab suster itu. Tapi wajah dan perutnya berkhianat.
"Kenyang? Atau Anda tidak ditawari majikan Anda itu?"
Sang suster menunduk. Tanpa kata, Abi Assegaf menuntun suster itu dan kereta bayinya ke meja kosong. Ia memesankan seporsi besar nasi goreng, bubur mutiara, dan segelas jus apel. Suster itu mengucap terima kasih dengan wajah bersalah.
Apa yang salah? Pikir Syifa. Yang dilakukan Abi Assegaf sudah benar. Arlita menyilangkan lengan, menatap angkuh perempuan majikan tak peka perasaan itu. Lihat suamiku, kamu harusnya malu. Begitu makna tatapannya.
"Great for you, Abi." Syifa memuji, merangkul hangat Abi Assegaf. Mencium kedua pipinya.
Arlita tertawa sinis. "Biar malu si majikan itu. Makanya, jangan pelit-pelit sama suster."
"Beda dengan kita, Arlita. Kamu ingat kan? Tiap kali kita bawa para pelayan jalan-jalan..."
Tanpa perlu diingatkan, Syifa tahu. Abi Assegaf dan Arlita selalu memesankan makanan lezat tiap kali membawa enam pelayan jalan-jalan bersama mereka. Tak ada sekat, tak ada pembeda kasta. Wajar bila enam pelayan betah sekali bekerja untuk keluarga Assegaf.