Dua minggu sekali, Adica dan Calvin mendatangi bangunan putih penyimpan air mata itu. Mereka masih harus rutin menemui Dokter Tian. Tes darah, satu hal yang paling dibenci mereka.
"Mereka orang-orang penuh intrik. Pecat saja dari kantormu, Assegaf." cerca Arlita. Ia geram mendengar suaminya diragukan kemampuannya.
Abi Assegaf menundukkan wajah. Pelan mengaduk-aduk teh di depannya. Rona ungu senja membias atap. Arlita mengusap-usap lengan pria belahan jiwanya.
Jiwa siapa yang tak tertekan saat dihadapkan pada pemandangan kelam bernafaskan rasa sakit setiap dua minggu? Terbebas dari terapi bukan berarti kebebasan check up. Adica mengeluh panjang-pendek dalam hati. Melempar pandang bosan ke pintu putih itu.
Diiringi bunyi klik, pintu terbuka. Calvin berjalan keluar. Raut wajahnya tak terbaca. Apa pedulinya? Berlagak tak melihat Calvin, Adica memasuki ruangan Dokter Tian.
"Dokter Tian tak bisa dihubungi," Arlita meletakkan iPhonenya ke meja marmer.
"Aku cemas, Arlita. Bagaimana hasil pemeriksaan Adica minggu ini?"
"Kurang baik." kata Dokter Tian, hati-hati membalik lembaran medical record.
Seraut wajah tampan itu tetap beku. Adica tak heran. Sudah ia duga. Pantas saja tubuhnya tak nyaman beberapa hari terakhir.
"Kadar glukosa dalam darahmu abnormal. Jumlah leukosit turun. Kamu harus lebih hati-hati. Kamu hematuria."
Hematuria, istilah medis untuk adanya kadar darah dalam urine. Dokter Tian menatap lembut pasien istimewanya. Sorot kebapakan terpancar jelas.
"Kamu stress, Nak? Atau kelelahan?"
Lelah Abi Assegaf menunggu. Jarum jam berputar melewati angka enam. Anak angkatnya tak juga pulang. Bukannya pelukan hangat Adica, ia malah dihadiahi luka baru dari Jadd Hamid.
Luka itu digoreskan secara virtual. E-mail berantai. Isinya larangan agar Abi Assegaf tak menjadi pemeran utama.
Larangan menjadi pemeran utama. Konsentrasi Adica terpecah. Uraian Dokter Tian lolos dari kepalanya. E-mail dari Jadd Hamid sungguh mengganggu.
Dengan hati galau, ia keluar ruangan. Betapa herannya ia melihat Calvin masih di sana. Dua pria tampan itu saling tatap. Tanpa kata, keduanya mengeluarkan biola dan piano digital.
Yaa...
Aku mengerti betapa sulit untuk kembali
Dan mempercayai penipu ini
Sekali lagi
Pemeran utama hati
Pemicu detak jantung ini
Baru kini kusadari
Setelah berlayar pergi
Itu kamu
Yaa...
Aku wanita yang seharusnya lebih perasa
Tapi aku malah mencabik
Lukai kau yang baik
Dan buat hatimu sakit
Meski malu untuk akui
Aku ingin kau kembali
Pemeran utama hati
Pemicu detak jantung ini
Baru kini kusadari
Setelah berlayar pergi
Itu kamu... (Raisa-Pemeran Utama).
** Â Â
Sayangnya, Jadd Hamid bukan wanita perasa. Ia pria, pria yang tak punya hati. Pria dengan hati tentunya takkan melukai anaknya sendiri.
Mengingat kenyataan pahit itu, Abi Assegaf bersedih. Ia menarikan jemarinya di atas piano. Memainkan untaian nada tanpa menyanyikan liriknya. Di pertengahan lagu, Arlita bernyanyi. Melagukan kepedihan hati suaminya.
Sudah terlalu banyak luka-luka yang digoreskan Jadd Hamid. Bersabar, memaafkan, melupakan, dan melapangkan hati. Rumus di hatinya untuk menetralisir luka.
"Ada luka di matamu," ucap Calvin.
Refleks Adica menghindari tatapan kakak kandungnya. Ia tak nyaman berada di bawah tatapan teduh itu. Calvin tersenyum sabar.
"Bagilah lukamu."
"Nope."
Mengapa tidak? Mengapa tidak ada sedikit pun cinta, kasih, dan pengertian Jadd Hamid untuk anak satu-satunya? Arlita bisa merasakan beratnya menjadi Abi Assegaf.
"Aku mau bertukar jiwa denganmu," Arlita mendesah.
Desahan angin menerbangkan dedaunan. Taman rumah sakit dingin sekali. Adica duduk di bangku taman. Calvin mengenyakkan tubuh di sisinya.
"Apa yang dikatakan kakekmu?" Calvin bertanya lembut.
"Dia ukan kakekku!" sergah Adica kasar.
Calvin menghela nafas sabar. "Baiklah...apa yang dikatakan kakeknya Syifa?"
"Kata Jadd Hamid, Abi Assegaf tak bisa dilibatkan dalam mega proyek sandiwara radio berjaringan nasional itu."
Itulah alasan Abi Assegaf mencari wanita berhati putih untuk pendamping hidupnya. Wanita yang bisa diajak berbagi luka, bukan hanya berbagi bahagia.
Allah memberi apa yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Voila, Arlita hadir karena ia dibutuhkan Abi Assegaf. Arlita pernah pergi. Kini ia kembali, tak kemana-mana lagi.
"Jangan berpikir untuk menyerah, Assegaf Sayang. Cara mengubah hati adalah doa. Every prayers have no limit, and Allah have no limit too."
Mata bening Arlita menatap lembut. Abi Assegaf bersandar di pelukan istrinya.
Kurang apa lagi doa-doa Abi Assegaf untuk Jadd Hamid? Mulai dari berdoa setiap sujud di sepertiga malam hingga berdoa langsung di negeri leluhurnya, Tanah Suci Mekkah, telah dia lakukan. Terbaca keputusasaan di mata sang ayah ideal.
"Kalau ini bukan project Adica, aku akan mundur sekarang juga. Aku masih bertahan demi Adica."
Adica menatap sedih langit berbintang. Wajah seram Jadd Hamid terus terbayang. Calvin menepuk pelan punggungnya.
"Jalani saja...jangan terlalu memaksakan."
Kerlap-kerlip berjuta bintang seolah menyuarakan isi hati. Sungguh, Adica ingin menjadikan Abi Assegaf sebagai pemeran utama. Tak ada yang bisa menggantikan Abi Assegaf.
"Aku merasa dimanfaatkan Jadd Hamid dan kroni-kroninya. Mereka hanya memanfaatkanku sebagai penulis dan pemilik cerita, lalu mereka memperlakukan naskahku sesukanya. Tak ada lagi hak prerogatif untukku."
Tepat di depan matanya, Calvin melihat langsung akibat buruk sifat perfeksionis. Para pemilik sifat itu akan cepat stress bila rencananya tidak berjalan sempurna.
"Aku bukan anak yang sempurna, Arlita." ungkap Abi Assegaf.
"Di mata Abi Hamid, aku hanya anak yang mengecewakan. Tapi aku ingin menjadi ayah yang sempurna. Ayah kebanggaan Adica dan Syifa."
Jemari lentik Arlita membelai kepala Abi Assegaf. "Kau sudah mendapatkannya, Sayang."
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H