"Jangan berpikir untuk menyerah, Assegaf Sayang. Cara mengubah hati adalah doa. Every prayers have no limit, and Allah have no limit too."
Mata bening Arlita menatap lembut. Abi Assegaf bersandar di pelukan istrinya.
Kurang apa lagi doa-doa Abi Assegaf untuk Jadd Hamid? Mulai dari berdoa setiap sujud di sepertiga malam hingga berdoa langsung di negeri leluhurnya, Tanah Suci Mekkah, telah dia lakukan. Terbaca keputusasaan di mata sang ayah ideal.
"Kalau ini bukan project Adica, aku akan mundur sekarang juga. Aku masih bertahan demi Adica."
Adica menatap sedih langit berbintang. Wajah seram Jadd Hamid terus terbayang. Calvin menepuk pelan punggungnya.
"Jalani saja...jangan terlalu memaksakan."
Kerlap-kerlip berjuta bintang seolah menyuarakan isi hati. Sungguh, Adica ingin menjadikan Abi Assegaf sebagai pemeran utama. Tak ada yang bisa menggantikan Abi Assegaf.
"Aku merasa dimanfaatkan Jadd Hamid dan kroni-kroninya. Mereka hanya memanfaatkanku sebagai penulis dan pemilik cerita, lalu mereka memperlakukan naskahku sesukanya. Tak ada lagi hak prerogatif untukku."
Tepat di depan matanya, Calvin melihat langsung akibat buruk sifat perfeksionis. Para pemilik sifat itu akan cepat stress bila rencananya tidak berjalan sempurna.
"Aku bukan anak yang sempurna, Arlita." ungkap Abi Assegaf.
"Di mata Abi Hamid, aku hanya anak yang mengecewakan. Tapi aku ingin menjadi ayah yang sempurna. Ayah kebanggaan Adica dan Syifa."