Di luar dugaan, Syifa balas berteriak. Kristal-kristal bening yang menjatuhi pipinya bukan lagi karena kesedihan. Tapi karena amarah dan kecewa.
Adica membeku di tempatnya berdiri. Sepenting itukah Gabriel di mata Syifa? Sampai-sampai gadis itu melupakan dirinya. Melupakan hari-hari indah bersamanya. Padahal Gabriel hanya perawat, hanya orang biasa. Namun, benarkah Gabriel hanya orang biasa?
** Â Â
Porche 911 itu berhenti di tepi pantai. Sesosok pria gemuk berkulit putih turun dari mobil. Ia menoleh ke kanan-kiri, mencari seseorang.
Pantai begitu sepi. Musim liburan telah lewat. Anak-anak nelayan pun kembali bersekolah. Pagi begini, serasa berada di pantai pribadi.
Pasir berbisik. Laut bernyanyi. Ombak mendesis. Si pria baya menunggu dengan sabar. Sekali-dua kali dia berlutut, membuat istana pasir. Tak peduli jas Armaninya kotor.
Setengah jam berselang, wanita tua dengan rambut digelung ketat melangkah melewati bentangan pasir. Dihampirinya pria rasa jet set itu. Terbata ia meminta maaf karena membuat si pria lama menunggu.
"Kau tahu perawat pengganti itu?"
"Yang mana, Tuan?"
"Yang tubuhnya tinggi, kulitnya putih, kepalanya botak. Dia tampan..."
"Ah, iya. Gabriel kan? Kenapa, Tuan?"