Koper-koper dimasukkan ke bagasi. Dua tas besar dilemparkan ke bangku belakang. Tangan Abi Assegaf terulur, ingin ikut membantu. Arlita menahannya.
"Big no. Tidak usah, Assegaf Sayang. Kamu langsung masuk mobil saja."
"Tidak, tidak. Kepala keluarga macam apa aku kalau diam saja melihat keluargaku kerepotan?"
Hati lembut Abi Assegaf berpadu sifat keras kepala. Arlita menghempas nafas kesal. Membiarkan saja suaminya ikut membantu.
Ketika semua barang telah dimasukkan, Pajerro putih itu melesat pergi. Setelah melalui perdebatan kecil tentang siapa yang menyetir. Abi Assegaf dan Arlita sama-sama berkeras ingin membawa mobil. Kali ini, keluarga Assegaf bepergian tanpa supir. Cukup mereka berempat.
Adica dan Syifa tak ikut campur. Membiarkan saja orang tua mereka berdebat. Akhirnya, Abi Assegaf menang. Ia duduk tegak di kursi pengemudi. Arlita tersenyum hambar, harus puas hanya menjadi navigator. Ia mencatat dalam pikirannya harus selalu menggantikan Abi Assegaf jika suaminya kelelahan.
Selamat tinggal Honda Jazz, selamat tinggal Range Rover. Pagi ini, keluarga Assegaf mengeluarkan Pajero mereka yang sudah terlalu lama beristirahat di garasi. Mereka meluncur ke sebuah hotel bintang lima agak jauh di luar kota. Acara keluarga mewah di akhir tahun, Abi Assegaf merencanakannya serapi mungkin. Abi Assegaf lakukan itu semata demi menyenangkan hati keluarga besarnya.
Putri kampus dan penyiar tampan duduk bersisian di belakang. Mereka bertekad jadi anak-anak manis. Tak ingin mengganggu Abi-Umminya siang ini. Saat Abi Assegaf dan Arlita berdebat pun, mereka hanya tersenyum sambil memperhatikan.
Pajero melaju meninggalkan tepi pantai. Abi Assegaf berkonsentrasi menatap jalanan di depannya. Arlita melirik cemas, takut suaminya tetiba drop saat menyetir.
"Assegaf, pokoknya sedikit saja ada rasa sakit, kau harus tukar posisi denganku." Arlita mengingatkan untuk kali kedua.
Abi Assegaf menghela nafas. "Arlita, kau mau berdoa jelek tentangku?"
"Tentu saja tidak."
"Dari tadi kamu berharap aku sakit."
Arlita menggeleng kuat. "Aku hanya cemas..."
"Mencemaskanku sama saja mendoakan hal buruk, Arlita."
Perkataan lembut Abi Assegaf sempurna membungkam Arlita. Ia terdiam, berhenti mengingatkan suaminya. Adica dan Syifa saling sikut di bangku belakang.
"Kau saja yang gantikan, Adica." Syifa mengecilkan volume suaranya.
"Tidak. Kau! Semalam aku siaran, aku kurang tidur...kau mau aku masuk penjara gegara menabrak orang?"
** Â Â Â
Dimana dirimu
Ingatkah padaku
Ku selalu di sini
Meniti bayangan...
Perjalanan terhambat kemacetan parah. Gegara sebuah truk terguling. Mobil-mobil di belakangnya tak bisa bergerak. Demi membunuh waktu, Syifa memutar lagu di radio mobil.
"Mengapa lagu sedih?" protes Adica.
"Sesuai aja sama cuacanya. Mendung dan hujan..." Syifa membela diri, melempar pandang ke langit berhujan.
Lagu memasuki refrein. Syifa, Adica, Arlita, dan Abi Assegaf bernyanyi mengikuti liriknya.
Ku terimakan
Keadaanku mencintaimu
Tanpa mampu memiliki
Kau yang terindah
Mengisi aku
Di sendiriku
Seperti tinta biru
Yang takkan terhapus di hatiku (Isyana Sarasvati-Kuterimakan).
Abi Assegaf menyeka ujung mata. Arlita menatapnya lembut, penuh perhatian.
"Aku akan menerima dengan ikhlas bila hari ini hari terakhirku memiliki kalian."
Mendengar itu, Arlita dan kedua anaknya terenyak. Tidk, mereka tidak siap bila saat berpisah harus tiba sekarang.
"Abi, jangan begitu...Abi pasti sembuh. Syifa masih butuh Abi." Syifa memohon lirih.
"Aku akan jadi orang paling sedih saat Abi pergi." ujar Adica dengan suara tercekat.
Tak tega Abbi Assegaf mendengar nada kesedihan dua permata hatinya. Ditenangkannya Adica dan Syifa. Ia menyesal telah membuat mereka sdih.
Kemacetan berakhir setengah jam kemudian. Hujan mengguyur kian deras, langit seputih mutiara. Kabut tipis melayang-layang. Wiper bergerak pelan, membasuh tetes hujan.
Baru sepuluh menit mobil melaju, terlihat seseorang melambaikan tangan. Arlita dan Abi Assegaf melihatnya. Sesosok wanita berambut pendek dan berkulit putih melambai-lambai dengan wajah kalut. Kalung salib melingkari lehernya.
"Arlita, sepertinya dia butuh bantuan." kata Abi Assegaf, lalu menghentikan mobilnya.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf turun dari mobil. Dihampirinya perempuan berbaju hitam itu. Arlita memperhatikan suaminya dengan kagum. Baik sekali Assegaf, pikirnya. Sulit menemukan orang sepeka itu di zaman serba canggih begini. Adica dan Syifa waswas.
Tak lama, Abi Assegaf berjalan kembali ke mobil bersama perempuan berkalung salib. Dibukakannya pintu mobil dengan gallant.
"Adica, Syifa, kalian pindah ke bangku paling belakang ya. Tidak apa-apa kan, Nak?"
Tanpa kata, mereka menurut. Lembutnya Abi Assegaf, mana mungkin mereka bantah? Perempuan itu duduk di kursi tengah. Disambuti pandangan Arlita. Arlita teeringat pada cerminan dirinya sendiri di masa lalu. Bahkan, ia masih menyimpan kalung salib.
"Arlita, Adica, Syifa, kita antar ibu ini ke gereja dulu...kasihan, mobilnya rusak. Handphonenya lowbat, jadi tidak bisa pesan taksi online atau menelepon keluarganya. Abi harap, tak ada yang keberatan." jelas Abi Assegaf.
"Sama sekali tidak, Assegaf." Arlita menjawab penuh pengertian.
Adica mengangguk. Syifa diam saja.
Ruas-ruas jalan terlewati. Aspal licin tersiram hujan. Si perempuan bergaun hitam mengucap terima kasih berulang kali. Ia sangat terbantu dengan pertolongan Abi Assegaf.
Jarak gereja sangat jauh. Berlawanan arah dengan hotel yang mereka tuju. Benak Syifa mulai merangkai konklusi. Abi Assegaf mengantarnya beribadah ke gereja. Seorang Muslim mengantarkan Non-Muslim ke rumah ibadahnya. Sangat toleran. Adica memikirkan hal yang sama.
Bukan Abi Assegaf namanya jika tidak mengajak makan tamu yang naik mobilnya. Dengan senyum simpatik, dia tawari tamunya makan. Semula perempuan itu menolak. Sudah terlalu banyak merepotkan, katanya.
"Sama sekali tidak merepotkan. Sudah jadi kebiasaan saya, mengajak tamu makan di luar. Iya kan, Arlita?"
"Iya. Suami saya memang begitu. Ayolah, di dekat sini ada resto yang enak." Arlita ikut membantu membujuk.
** Â Â Â
Juru parkir berkaus oranye meniup-niup peluit. Ia memberi aba-aba, mengarahkan mobil ke spasi kosong di area parkir. Tombol power window ditekan. Kaca jendela membuka.
Abi Assegaf trenyuh. Juru parkir itu hanya memiliki empat jari tangan. Segera saja ia mengulurkan dua lembar ratusan ribu. Betapa bahagianya juru parkir itu menerima uang. Nilainya kecil saja di mata Abi Assegaf. Tapi di mata kaum akar rumput, nominalnya besar sekali.
Arlita, Adica, dan Syifa bertukar senyum. Sudah biasa. Perempuan itu terkagum-kagum. Satu banding seratus mobil yang pengemudinya begitu dermawan memberikan ratusan ribu pada juru parkir. Abi Assegaf sedikit di antara pengemudi langka jenis itu.
Lima menit berselang, mereka berlima duduk manis di resto. Sibuk memilih-milih menu. Perempuan berkalung salib itu memilih menu Indonesia. Arlita dan Adica memilih menu Barat. Abi Assegaf seperti biasa tetap konsisten memilih menu Timur Tengah. Hanya Syifa yang tidak ikut memesan makanan.
"Aku mau lemon tea saja," kata gadis itu datar.
Merasa ada yang tidak beres, Abi Assegaf membungkuk mendekatkan wajah ke wajah putrinya. Bertanya lembut alasannya tidak mau makan. Syifa hanya menjawab seadanya. Tak selera makan, jawaban klasik.
Jika sudah tak mau, Syifa takkan mau. Ia tetap minum lemon tea sementara empat orang di kanan-kirinya menyantap makanan. Abi Assegaf membaca keresahan di mata Syifa.
Selesai makan, mereka melanjutkan perjalanan. Kini perempuan itu berinisiatif membuka jendela mobil lalu mengulurkan lembaran uang baru pada si juru parkir. Syifa membulatkan mata curiga. Kamuflase, pikirnya berprasangka.
Sisa perjalanan berlangsung lancar. Abi Assegaf mengantarkan perempuan itu sampai ke gereja. Terlihat si perempuan sangat bersyukur sampai-sampai kehilangan kata.
** Â Â Â
"Syifa...kamu kenapa, Sayang? Cerita sama Abi."
Di kamar hotel berlampu temaram dan berpendingin udara, Abi Assegaf mengajak Syifa bicara dari hati ke hati. Keduanya duduk bersisian di ranjang besar.
"Syifa nggak suka Abi antar perempuan itu ke gereja." ungkap Syifa jujur.
"Kenapa nggak suka, Nak? Apa salahnya menolong orang?" Abi Assegaf bertanya lagi.
"Abi menolong orang beribadah di tempat lain, bukan di rumah Allah. Sama saja Abi menolong orang berbuat sesuatu yang dibenci Tuhan kita."
Ruang pemahaman mulai terbuka. Abi Assegaf mengelus kepala Syifa, lembut berbisik.
"Abi sama sekali tak ada maksud menolong orang berbuat kekufuran, Sayang. Ini hanya bentuk toleransi. Abi kasihan sama orang itu."
"Kalau Abi kasihan dan peduli, kenapa Abi nggak ajak dia tukar pikiran tentang Islam? Dari pada antar dia ke gereja..."
"Syifa Sayang, dakwah itu tidak harus membuat orang beragama lain pindah ke agama kita. Dakwah yang sebenarnya adalah menunjukkan nilai-nilai positif dalam agama kita. Soal terbuka-tidaknya hati mereka menerima kebenaran, itu hak prerogatif Allah. Yang penting, kita tunjukkan saja keindahan Islam. Islam yang lembut, penyayang, pemurah, dan toleran..."
Perlahan tapi pasti, Syifa merenungi ucapan Abinya. Benar, sungguh benar. Esensi dakwah yang sesungguhnya bukanlah menambah jumlah pemeluk agama, tetapi menunjukkan keindahan agama kita pada orang lain.
Dalam gerakan slow motion, Syifa memeluk Abi Assegaf. Ayah dan anak itu berpelukan, erat dan lama. Ketukan pintu membuyarkan kebersamaan mereka.
Room boy datang membawa paket. Kening Abi Assegaf berkerut melihatnya.
"Ada paket untuk Zaki Assegaf."
Aneh, tak biasa. Dari mana pengirim paket itu tahu kalau ia tengah menginap di sini? Mengapa ia menuliskan nama lengkap?
"Dari siapa, Abi?" tanya Syifa penasaran.
"Abi tidak tahu. Kita buka ya..."
Bubble wrap dibuka. Sebentuk kotak berukuran sedang tersingkap. Isinya sebotol parfum Calvin Klein, sepasang sepatu Nike, setelan jas Christian Dior, dan botol putih berisi obat herbal dari Tiongkok. Dari keterangannya, obat itu berkhasiat untuk membantu penderita kanker.
"Wow, semua hadiah ini untuk Abi. Apa Abi akan meminum obatnya?"
Abi Assegaf menggeleng ragu. Sebentuk kartu kecil jatuh dari dalam kotak. Syifa membuka kartu itu dan membacanya keras-keras.
Dear Zaki Assegaf,
Terima kasih telah membantu saya tempo hari. Pertolongan Anda membuat saya belajar arti bersyukur. Karena Anda, saya bisa menghadiri Misa Arwah suami saya dan mendoakan dia dalam keabadian.
Salam hangat,
Luna Elia
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H