"Arlita, sepertinya dia butuh bantuan." kata Abi Assegaf, lalu menghentikan mobilnya.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf turun dari mobil. Dihampirinya perempuan berbaju hitam itu. Arlita memperhatikan suaminya dengan kagum. Baik sekali Assegaf, pikirnya. Sulit menemukan orang sepeka itu di zaman serba canggih begini. Adica dan Syifa waswas.
Tak lama, Abi Assegaf berjalan kembali ke mobil bersama perempuan berkalung salib. Dibukakannya pintu mobil dengan gallant.
"Adica, Syifa, kalian pindah ke bangku paling belakang ya. Tidak apa-apa kan, Nak?"
Tanpa kata, mereka menurut. Lembutnya Abi Assegaf, mana mungkin mereka bantah? Perempuan itu duduk di kursi tengah. Disambuti pandangan Arlita. Arlita teeringat pada cerminan dirinya sendiri di masa lalu. Bahkan, ia masih menyimpan kalung salib.
"Arlita, Adica, Syifa, kita antar ibu ini ke gereja dulu...kasihan, mobilnya rusak. Handphonenya lowbat, jadi tidak bisa pesan taksi online atau menelepon keluarganya. Abi harap, tak ada yang keberatan." jelas Abi Assegaf.
"Sama sekali tidak, Assegaf." Arlita menjawab penuh pengertian.
Adica mengangguk. Syifa diam saja.
Ruas-ruas jalan terlewati. Aspal licin tersiram hujan. Si perempuan bergaun hitam mengucap terima kasih berulang kali. Ia sangat terbantu dengan pertolongan Abi Assegaf.
Jarak gereja sangat jauh. Berlawanan arah dengan hotel yang mereka tuju. Benak Syifa mulai merangkai konklusi. Abi Assegaf mengantarnya beribadah ke gereja. Seorang Muslim mengantarkan Non-Muslim ke rumah ibadahnya. Sangat toleran. Adica memikirkan hal yang sama.
Bukan Abi Assegaf namanya jika tidak mengajak makan tamu yang naik mobilnya. Dengan senyum simpatik, dia tawari tamunya makan. Semula perempuan itu menolak. Sudah terlalu banyak merepotkan, katanya.