Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Badai Transisi

14 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 14 Desember 2018   06:02 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

Adica dan Syifa bertengkar. Sulit dipercaya. Mereka berdua yang biasanya selalu akur, tak pernah bertengkar, kini terlibat konflik.

Ini kali pertama mereka bertengkar. Abi Assegaf dan Arlita berharap ini pun kali terakhir. Enam pelayan tak tahan menyaksikan dua majikan muda mereka saling mendiamkan. Benar-benar sangat jauh dari Adica dan Asyifa Assegaf yang biasanya.

Atmosfer rumah mewah tepi pantai tak sehangat hari-hari sebelumnya. Dingin lebih sering mendominasi. Waktu sarapan dan makan malam tak lagi menyenangkan. Adica dan Syifa duduk berjauhan. Saling menghindari tatapan, enggan berinteraksi satu sama lain.

Abi Assegaf dan Arlita risau memperhatikan dua anak mereka. Sebuah pengalaman baru, karena sebelumnya mereka hanya mengurus satu anak. Keduanya belum berpengalaman mendamaikan pertengkaran dua anak di dalam keluarga.

Pernah di satu malam pertengahan Desember yang dingin, Arlita menahan Abi Assegaf sebelum tidur. Memintanya berdiskusi sebentar untuk mendamaikan anak-anak mereka. Melihat wajah tenang suaminya, Arlita mulai gemas.

"Memangnya kamu tidak ingin melihat mereka kembali berbaikan?" sergah Arlita.

"Tentu saja. Aku juga sedih anak-anak kita bertengkar begitu. Kau hadapi Syifa, aku hadapi Adica. Ok?"

Arlita mengangguk. Keduanya saling mengaitkan jari kelingking. Malam itu, tidur mereka tak senyenyak biasanya.

**     


Tak mengerti apa yang telah terjadi

Kau tak lagi sama, engkau bukan engkau

Yang selalu mencari dan meneleponku

Dering darimu tak ada lagi

Walau kau menghapus menghempas diriku

Mengganti cintaku

Semua tak mampu hilangkan cinta

Yang telah kauberi

Walau kau berubah, aku kan bertahan

Di sepanjang waktuku

Biarkan aku mencintaimu dengan caraku

Tak mengerti, mengapa engkau membisu

Kau tak lagi sama, engkau bukan engkau

Sampai aku ragu untuk meneleponmu

Mengerti kah kamu aku rindu kamu

Walau kau menghapus menghempas diriku

Mengganti cintaku

Semua tak mampu hilangkan cintaYang telah kau beri

Walau kau berubah aku kan bertahan

Disepanjang waktuku

Biarkan aku mencintaimu dengan caraku

Aku tak suka bila

Kau selalu dekat dengannya

Jangan engkau cemburu

Dia hanya sahabat di kelasku

Walau kau menghapus menghempas diriku

Mengganti cintaku (Mengganti cintaku)

Semua tak mampu hilangkan cinta yang telah kauberi

Walau kau berubah aku kan bertahan

Disepanjang waktuku

Biarkan aku mencintaimu dengan caraku

Walau kau menghapus menghempas diriku

Mengganti cintaku (Tak akan mengganti)

Semua tak mampu hilangkan cintaYang telah kau beri (Ku takkan pernah berubah)

Walau kau berubah aku kan bertahan

Disepanjang waktuku

Biarkan aku mencintaimu dengan caraku

Tak usah cemburu

Aku tak ingin kita berpisah karena ini

Biarkan aku selalu mencinta

Untuk selamanya (Arsy Widianto ft Brisia Jodie-Dengan Caraku).

Pagi-pagi sekali, Abi Assegaf dan Arlita dikagetkan dengan pemandangan tak terduga di balkon tinggi. Adica memainkan biolanya dengan mata terpejam. Syifa berdiri kaku di ambang pintu kaca. Bibirnya bergetar membalas untaian lirik lagu yang dinyanyikan Adica. Mereka tak saling tatap, tak saling menyadari kehadiran satu sama lain.

Lagu itu seperti menyuarakan isi hati mereka. Isi hati terdalam yang tak terungkapkan di depan sesiapa. Mereka saling menjelaskan, saling mengungkapkan rasa lewat lagu.

Wajah Syifa sendu berurai air mata. Adica pucat pasi, menahan kesedihan dan emosi yang terus bertransisi. Demi melihat kondisi dua permata hati mereka, Abi Assegaf dan Arlita bergegas mendekat. Abi Assegaf memeluk Adica. Arlita memegang dagu Syifa dengan lembut tapi kuat.

"Adica anakku...kenapa, Sayang?" Abi Assegaf bertanya lembut.

Mendapat pertanyaan itu, Adica memalingkan tatapan. Berpura-pura memandangi langit seputih mutiara yang memuntahkan rinai hujan.

"Anak Ummi tidak boleh menangis!" bentak Arlita, mengangkat paksa dagu putrinya.

"Asyifa putri Ummi satu-satunya, harus bisa mengendalikan diri!"

Syifa menggigit bibir bawahnya. Teoretis, Ummi Arlita selalu saja begitu. Ia hanya menyuruh Syifa melakukan ini-itu, memaparkan teorinya, tanpa mengizinkan Syifa mengutarakan kesulitan-kesulitannya. Itu sebabnya Syifa tak begitu nyaman dengan Arlita untuk membuka sisi rapuh hatinya.

Balkon tinggi itu menjadi saksi bisu. Ornamen-ornamen seolah punya mata. Sofa, lantai, dan pagar tangga seakan bertelinga. Mereka melihat, mereka mendengarkan sepasang hati yang diterpa tornado kegalauan.

"Arlita, cukup. Jangan tekan putri kita." Abi Assegaf menengahi.

"Biarkan saja. Dia sudah dewasa. Kamu terlalu lunak pada anak-anak kita, Assegaf."

Adica dan Syifa tertunduk. Ummi mereka tak mengerti. Betapa  sulitnya bagi mereka melewati masa transisi. Terlebih, ada guncangan dari luar. Guncangan di luar ekspektasi yang sangat tidak diinginkan.

"Aku takut sama Ummi..." lirih Syifa tetiba, matanya berkaca-kaca.

Cengkeraman Arlita di bahu Syifa terasa begitu kasar. Abi Assegaf memberinya tatapan penuh arti. Apa kataku, begitu maksudnya.

"Apa maksudmu?"

"Ummi terlalu sering menekanku. Ummi galak, tidak selembut Abi. Lihat bagaimana lembut dan sabarnya Abi pada Adica."

"Siapa bilang Ummi menekanmu? Ummi hanya mengajarimu untuk kuat menghadapi kerasnya hidup di dunia luar. Jangan mau jadi kaca, tapi jadilah baja. Sekarang, katakan pada Ummi dan Abi. Kenapa kamu bertengkar dengan Adica?"

Syifa bungkam seketika. Adica tertunduk kian dalam. Sedetik. Lima detik. Tujuh detik...

"Aku tidak suka Syifa dekat dengan Ray..." ungkap Adica pelan.

"Ray?" ulang Abi Assegaf.

"Anaknya Koh Andreas Wiharja? Yang punya hotel di dekat kampus Syifa itu?"

Adica mengangguk. Tangan Syifa terasa sangat dingin. Sudah berulang kali ia jelaskan pada Adica bila Ray hanya sahabat baiknya. Sesama alumni duta mahasiswa. Tidak ada yang perlu dicemburui.

"Kenapa kau tidak suka, Nak?" tanya Abi Assegaf hati-hati.

"Ray mempengaruhi Syifa agar menjauhiku. Kata Ray, Syifa tak pantas untukku. Dia menyebut-nyebut masa lalu dan penyakitku."

Ruang pemahaman mulai terbuka. Abi Assegaf bertukar pandang dengan istrinya. Arlita mengangguk pelan, raut wajahnya melunak. Tangan Abi Assegaf mengusap lembut lengan Adica. Masih tersisa bekas memar akibat tusukan jarum suntik kemoterapi di sana.

"Adica anakku, Syifa Sayang, apa pengaruh negatif Ray mengganggu kalian?"

"Sangat mengganggu."

Jawaban Adica dan Syifa persis sama. Mereka mengangkat wajah, lalu saling tatap. Pandangan pertama setelah berhari-hari enggan menatap satu sama lain.

"Syifa Sayang, apa cintamu pada Adica memudar setelah diprovokasi Ray?"

"Tentu saja tidak, Abi. Ray sahabatku. Tapi, Adica pilihan hatiku."

"That's good. Lalu, apa yang harus dipermasalahkan?"

Hening, hening sempurna melingkupi balkon tinggi. Kaca-kaca pun tak ikut bergetar saat petir menggelegar. Ikut menghayati keheningan yang tercipta.

"Aku tidak mudah mempercayai cinta, Abi." Adica kembali bicara.

"Satu luka saja bisa membuat sisi lain hatiku hancur. Aku sangat mencintai Syifa. Aku terlalu takut kehilangan dia."

Saat kalimat itu terucap, senyuman tipis bermain di sudut bibir Syifa. Pengakuan Adica tentang cinta teramat jujur.

"Aku tidak mau terlalu berharap banyak. Walau aku sangat mencintainya. Pengaruh Ray benar. Aku sakit, sakit yang belum bisa dikatakan sembuh total. Aku benci pada diriku sendiri, benci pada kenyataan. Kenyataan jika aku sakit."

Keputusasaan, kehilangan harapan, dan marah pada keadaan. Tiga perasaan yang membuat Adica membuat tembok pemisah begitu tinggi pada Syifa. Tembok pemisah yang seharusnya tidak ada. Tulusnya cinta Syifa jangan diragukan. Buktinya, ia tak meninggalkan Adica meski telah dipengaruhi sahabatnya sendiri.

**    
Calvin dan Silvi terenyak mendengar kisah itu. Kompleks, pikir mereka. Masa transisi yang rumit. Krisis cinta dan krisis kebahagiaan.

"Krisis kebahagiaan..." desah Silvi.

"Seperti yang kini kurasakan."

Calvin mengelus lembut punggung Silvi. "Mengapa begitu, Silvi?"

"Aku tak bahagia karena takut. Takut kamu meninggalkanku, Calvin. Takut dengan keterbatasan kita. Dulu, aku pernah melakukan hal yang sama dengan Adica."

Kenangan buruk di masa lalu berkejaran. Silvi yang menyakiti Calvin, melukainya berkali-kali hanya karena tak percaya cinta dan tak mau dikecewakan. Perlakuan menyakitkan Silvi dibalas ketulusan cinta Calvin.

"Jangan pisahkan aku darimu, Calvin." pinta Silvi.

"Maafkan dulu aku pernah menyakiti dan menghempas cintamu."

Dalam gerakan slow motion, Calvin memeluk Silvi. Membiarkan gadis itu menangis di rengkuhannya. Silvi paling anti menunjukkan air mata di depan banyak orang. Hanya di depan Allah dan orang-orang tercintanya ia menangis.

"Aku hanya menginginkanmu di hidupku. Calvin, biarkan aku mencintaimu untuk selamanya."

Di tengah situasi yang tak pasti, di tengah keterbatasan mereka, Calvin dan Silvi terus mempertahankan jalinan cinta. Walau terhadang badai krisis dan transisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun