Mendapat pertanyaan itu, Adica memalingkan tatapan. Berpura-pura memandangi langit seputih mutiara yang memuntahkan rinai hujan.
"Anak Ummi tidak boleh menangis!" bentak Arlita, mengangkat paksa dagu putrinya.
"Asyifa putri Ummi satu-satunya, harus bisa mengendalikan diri!"
Syifa menggigit bibir bawahnya. Teoretis, Ummi Arlita selalu saja begitu. Ia hanya menyuruh Syifa melakukan ini-itu, memaparkan teorinya, tanpa mengizinkan Syifa mengutarakan kesulitan-kesulitannya. Itu sebabnya Syifa tak begitu nyaman dengan Arlita untuk membuka sisi rapuh hatinya.
Balkon tinggi itu menjadi saksi bisu. Ornamen-ornamen seolah punya mata. Sofa, lantai, dan pagar tangga seakan bertelinga. Mereka melihat, mereka mendengarkan sepasang hati yang diterpa tornado kegalauan.
"Arlita, cukup. Jangan tekan putri kita." Abi Assegaf menengahi.
"Biarkan saja. Dia sudah dewasa. Kamu terlalu lunak pada anak-anak kita, Assegaf."
Adica dan Syifa tertunduk. Ummi mereka tak mengerti. Betapa  sulitnya bagi mereka melewati masa transisi. Terlebih, ada guncangan dari luar. Guncangan di luar ekspektasi yang sangat tidak diinginkan.
"Aku takut sama Ummi..." lirih Syifa tetiba, matanya berkaca-kaca.
Cengkeraman Arlita di bahu Syifa terasa begitu kasar. Abi Assegaf memberinya tatapan penuh arti. Apa kataku, begitu maksudnya.
"Apa maksudmu?"