"Sangat mengganggu."
Jawaban Adica dan Syifa persis sama. Mereka mengangkat wajah, lalu saling tatap. Pandangan pertama setelah berhari-hari enggan menatap satu sama lain.
"Syifa Sayang, apa cintamu pada Adica memudar setelah diprovokasi Ray?"
"Tentu saja tidak, Abi. Ray sahabatku. Tapi, Adica pilihan hatiku."
"That's good. Lalu, apa yang harus dipermasalahkan?"
Hening, hening sempurna melingkupi balkon tinggi. Kaca-kaca pun tak ikut bergetar saat petir menggelegar. Ikut menghayati keheningan yang tercipta.
"Aku tidak mudah mempercayai cinta, Abi." Adica kembali bicara.
"Satu luka saja bisa membuat sisi lain hatiku hancur. Aku sangat mencintai Syifa. Aku terlalu takut kehilangan dia."
Saat kalimat itu terucap, senyuman tipis bermain di sudut bibir Syifa. Pengakuan Adica tentang cinta teramat jujur.
"Aku tidak mau terlalu berharap banyak. Walau aku sangat mencintainya. Pengaruh Ray benar. Aku sakit, sakit yang belum bisa dikatakan sembuh total. Aku benci pada diriku sendiri, benci pada kenyataan. Kenyataan jika aku sakit."
Keputusasaan, kehilangan harapan, dan marah pada keadaan. Tiga perasaan yang membuat Adica membuat tembok pemisah begitu tinggi pada Syifa. Tembok pemisah yang seharusnya tidak ada. Tulusnya cinta Syifa jangan diragukan. Buktinya, ia tak meninggalkan Adica meski telah dipengaruhi sahabatnya sendiri.