Titik-titik hujan mengambang di pertengahan Desember. Air laut pasang. Pasir putih dibasahi buih ombak dan tetes hujan. Langit yang awalnya gelap, kini berubah seputih mutiara.
Desember yang dingin. Sedingin hati Arlita saat membuka akun Instagramnya pagi ini. Neter mengomentari foto-fotonya bersama Abi Assegaf. Bukan kemesraan yang disoroti, melainkan penampilan. Mereka mengomentari kontrasnya tampilan Abi Assegaf dan Arlita. Sang istri tampil cantik dengan helaian rambut panjang yang terawat indah. Kontradiktif dengan sang suami yang nyaris tak memiliki rambut.
Risiko bagi pasangan suami-istri public figure saat penampilan mereka menjadi sorotan. Namun, kali ini berbeda. Komentar warganet lebih mirip verbal bullying. Itu pun dilakukan berkali-kali di setiap postingan Arlita beberapa minggu terakhir. Makin lama, komentar pedas mereka menjurus ke body shaming.
Bukan, bukan Arlita yang dirugikan. Abi Assegaf yang akan terluka. Masalah tampilan fisik meruncing. Tapi tenang saja, suami tampannya itu belum tahu. Sejak memimpin rapat di Refrain Radio, kondisi Abi Assegaf menurun drastis. Waktunya lebih banyak terpakai untuk istirahat dan ibadah dibandingkan mengecek medsos.
Arlita balik kanan. Berjalan meninggalkan balkon tinggi, lalu menuju kamar biru. Abi Assegaf terbaring di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Hati Arlita teriris. Begitulah rasanya tiap kali melihat kondisi sang suami. Ia membungkuk, mencium kening Abi Assegaf.
"Mana yang sakit, Sayang? Semoga sakitnya pindah padaku..." kata Arlita lembut.
Bukannya menjawab, Abi Assegaf malah menunjuk ke layar handphone Arlita. Sesaat Arlita tertegun. Ia lupa menutup Instagram. Cepat ditutupnya aplikasi itu.
"Kenapa ditutup, Arlita?"
"Tidak apa-apa. Tidak penting. Assegaf, bolehkah aku memakai hijab mulai sekarang?"
Pertanyaan itu sungguh menggetarkan. Hati Abi Assegaf bergetar hebat. Getaran yang sama, saat Arlita masuk Islam dua puluh tiga tahun lalu. Ya, Allah, sekali lagi mukjizatMu turun di pagi berhujan ini.
"Tentu saja boleh, Arlita. Aku akan jadi orang pertama yang bahagia saat kau memutuskan berhijab." ujar Abi Assegaf lembut, lembut sekali.
"Sebenarnya aku suka berhijab. Bahkan saat aku masih Katolik, aku sering memakainya. Aku masih ragu karena pekerjaanku. Ada beberapa kontrak yang mengharuskanku tidak berhijab."
Abi Assegaf membelai lembut rambut istrinya. "Sama seperti cinta, rezeki akan menemukanmu di jalanNya."
Sepersekian menit mereka bicara tentang hijab, butik, dan modeling. Sampai akhirnya Arlita tersadar. Suaminya tak boleh terlalu banyak diajak bicara. Kondisinya masih terlalu lemah. Ketika Abi Assegaf mulai kelelahan, ia peluk pria tampan itu penuh cinta. Dari luar kamar, terdengar alunan biola. Disusul suara barithon Adica dan suara sopran Syifa menyanyikan sebuah lagu.
Salahkah bila diriku
Terlalu mencintaimu
Jangan tanyakan mengapa
Karena ku tak tahu
Aku pun tak ingin
Bila kau pergi tinggalkan aku
Masihkah ada hasratmu
Tuk mencintaiku lagi (Pasto ft Milka-Salahkah Aku Terlalu Mencintaimu).
Pelukan Abi Assegaf dan Arlita bertambah erat. Menikmati lagu yang dibawakan anak-anak mereka.
"Jangan tinggalkan aku, Arlita..." pinta Abi Assegaf lirih.
"Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Setengah jam berselang, Abi Assegaf tertidur dalam dekapan Arlita. Mualaf cantik Indo-Jerman itu mencium kening Abi Assegaf untuk kedua kali. Tertatap olehnya seraut wajah pucat yang tengah terlelap. Meski pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya.
Bola mata Arlita berawan. Tetes-tetes hujan jatuh dari matanya. Keraguannya lesap. Ya, ia harus memakainya mulai hari ini. Demi melindungi dan menjaga hati surviver kanker yang tertidur di pelukannya.
Berulang kali Arlita membaca istighfar. Memohon ampun bila motivasinya salah. Satu hal yang pasti: niatnya lurus, tulus dari kedalaman hati.
Jarum-jarum jam berjatuhan. Tepat menjatuhi angka delapan. Masih ada waktu untuk shalat Dhuha. Pelan dan tanpa suara, Arlita beranjak kee kamar mandi. Diambilnya air wudhu. Ditegakkannya ibadah sunnah pengundang rezeki itu.
Rakaat demi rakaat terlewati. Sujud-sujudnya begitu panjang. Kedua bahunya bergetar membiaskan isak yang dalam. Yang Maha Cinta pasti mengerti. Ia tahu, Ia melihat, Ia merasakan, dan Ia sungguh dekat.
"Ya, Allah, maafkan bila motivasiku berhijab keliru. Aku ingin menjadi pelindung hati suamiku. Aku tak mau lagi mendengar hinaan untuk suamiku...maafkan aku, ya Rabb."
Istri adalah pelindung hati suami, penjaga kehormatannya. Istri itu pakaian suami. Jangan sampai kehormatan sang suami dicemari hanya karena kelalaian sang istri.
Sejak dulu, Abi Assegaf tak pernah memaksakan Arlita berhijab. Istrinya masuk Islam saja sudah menjadi kesyukuran terbesar baginya. Ia tak mau berharap lebih dari itu. Toh Arlita sudah menjadi wanita Muslimah yang sangat, sangat baik. Ibadah wajib yes, ibadah sunnah yes. Naik Haji sekali, umrah berkali-kali. Zakat fitrah dan mal berjalan konsisten. Sedekah tiap hari. Apa yang kurang?
Abi Assegaf hanya membimbing dan mengarahkan, tidak memaksa. Kenyamanan istrinya lebih penting. Jangan samakan Abi Assegaf dengan suami-suami fanatik penganut Islam garis keras. Ia bukan tipikal suami yang memaksakan istrinya harus berhijab dan melarangnya bekerja. Tidak, Abi Assegaf lebih moderat dari itu.
** Â Â
iPhonenya berdering. Dinding kekhusyukan Arlita runtuh. Ia lepas abayanya, melemparnya ke karpet, terburu-buru meraih benda berlogo apel itu, dan berlari keluar kamar. Takut membangunkan Abi Assegaf.
"Ya, halo?" sapa Arlita tanpa melihat siapa nama peneleponnya.
"Arlita, bisakah kamu ke gereja sekarang? Pohon Natal di gereja kita roboh."
Detik berikutnya, hati Arlita berpagut penyesalan. Seharusnya dia tak perlu mengangkat telepon Yonathan.
"Bukan gereja kita, tapi gerejamu." koreksi Arlita ketus.
"Bagiku kau masih memiliki pancaran inner beauty khas wanita Katolik, Arlita. Jadi..."
"Stop. Apa yang kauinginkan?"
Hening sejenak. Yonathan sengaja mengulur waktu. Beraninya dia mempermainkan Arlita.
"Aku ingin kau datang dan membantu kami menyiaapkan Natal."
Permintaan apa ini? Seorang ex Seminaris meminta bantuan Muslimah menyiapkan Natal? Sungguh ganjil. Dunia benar-benar sudah mau kiamat.
"Tidak bisa!" tolak Arlita tegas.
"Memangnya sudah tidak ada lagi wanita baik hati di gereja yang bisa membantumu? Orang-orang dari Legio, perkumpulan Wanita Katolik, OMK, para Suster, Imam, Prodiakon...mereka semua bisa membantumu."
"Yang kubutuhkan itu kamu, Arlita. Bukan mereka."
Luar biasa Yonathan ini. Ia terang-terangan mengatakan begitu pada istri orang. Tidakkah ia malu di depan Tuhan? Bukankah Tuhan Maha Mendengar?
"Aku kecewa pohon Natalnya roboh, Arlita. Itu pohon Natal mahal. Seperti semua hal mewah lainnya di gereja kita..." ungkap Yonathan kecewa.
Arlita mengangkat alisnya. "Kamu lupa pelajaran-pelajaran di Seminari, Yonathan? Mengapa Natal harus identik dengan kemewahan? Yesus saja lahir dalam kesederhanaan, di dalam kandang. Iya kan?"
Perkataan Arlita sukses mengagetkan Yonathan. Walau telah lama meninggalkan iman Katolik, Arlita masih mengingat esensi dan kisah kelahiran anak Allah itu dengan sangat baik. Wanita cerdas, pikirnya kagum.
"Ya, kamu benar. Tapi..."
"Sudahlah, Yonathan. Dari pada menghamburkan budget untuk perayaan Natal mewah di gereja, lebih baik uangnya kaupakai membeli kado-kado Natal yang bermanfaat untuk duafa."
Lebih kuat lagi getaran di hati Yonathan. Motivasi merayakan Natal dengan sederhana justru datang dari umat agama lain. Spirit mengasihi orang miskin saat Natal hadir dari mualaf cantik.
"Aku tak bisa ke gereja." Arlita menegaskan.
"Aku harus merawat Zaki. Dia butuh aku."
"Zaki akan baik-baik saja walau kautinggal sebentar."
Bukan, bukan suara Yonathan yang menimpali. Tetapi...
Pintu kamar terbuka. Abi Assegaf melangkah tertatih menghampiri Arlita.
"Zaki Sayangku? Masya Allah, kembalilah ke tempat tidur. Jangan banyak bergerak dulu."
Di seberang sana, Yonathan tersenyum penuh kemenangan. Abi Assegaf menyentuh lembut lengan istrinya.
"Pergilah, Arlita. Bantu persiapan Natal. Tunjukkan semangat toleransi." kata Abi Assegaf lembut.
Tatapan teduh Abi Assegaf teramat meluluhkan. Sungguh, Arlita tak bisa menolak. Baiklah, ia akan pergi. Tapi bukan untuk Yonathan.
** Â Â Â
Yonathan terpana. Ia sudah biasa melihat Arlita berhijab. Namun, kali ini efeknya berbeda. Ada yang lain dalam diri wanita berpostur ramping itu.
"Jangan menatapku seperti itu." tukas Arlita dingin.
Cepat-cepat Yonathan melepas tatapan. Tersenyum meminta maaf. Berterima kasih karena Arlita mau datang.
Tanpa kata, Arlita melangkah masuk ke dalam gereja. Ia membantu beberapa anggota Orang Muda Katolik mendirikan kandang Natal. Ia juga memasang hiasan-hiasan Natal setelahnya. Kehadiran wanita berhijab membantu persiapan Natal begitu mengesankan.
Kemunculan Arlita di gereja mencuri perhatian dewan Paroki, sejumlah ketua lingkungan, para Imam, Prodiakon, biarawati, dan anggota Mudika. Bahkan, tak sedikit umat yang berdatangan untuk sekedar menyapa mantan saudara seiman itu. Mau tak mau Arlita merasakan percik kerinduan. Dulu, ia menyambut datangnya Desember dengan bahagia. Desember identik dengan Natal, lonceng Gereja, dan kado.
Pesona Arlita tak luntur. Bukan hanya parasnya, tetapi juga pribadi dan kecerdasannya. Saat umat dipusingkan dengan robohnya pohon Natal berharga mahal, Arlita menawarkan solusi lain.
"Buat saja pohon Natal dari barang-barang bekas."
Segera saja mereka bergerak cepat. Mengumpulkan puluhan kilogram gelas plastik dan barang-barang lainnya. Mulai merangkai pohon Natal raksasa.
Tak hanya itu. Arlita pun melatih putri altar. Sesuatu yang belum pernah terjadi. Muslimah melatih putri altar. Yonathan terpesona, sangat terpesona.
Ia pandangi sosok Arlita lama-lama. Ia nikmati kecantikan Arlita dari balik sakristi. Selangkah demi selangkah didekatinya wanita bergaun dan berhijab putih itu, lalu...
"Yonathan! Apa yang kaulakukan?" sergah Arlita marah.
Pengusaha yang sering keluar-masuk majalah bisnis itu menarik wajahnya. Keterlaluan, dia baru saja mencium Arlita!
Ruang utama gereja berubah gaduh. Orang-orang menyalahkan Yonathan. Arlita tertunduk dalam, menampari pipinya sendiri. Ya, Allah, bila wajah cantik ini hanya mengundang fitnah, lenyapkan saja. Ia ikhlas tak cantik lagi asalkan bisa selalu bersama Abi Assegaf dan terhindar dari fitnah.
Getaran smartphone menyadarkannya. Ternyata dari Adica.
"Ummi, bisa pulang sekarang? Abi muntah darah."
Inikah teguran dariNya? Abi Assegaf sakit ketika orang ketiga beraksi.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H