Sejak dulu, Abi Assegaf tak pernah memaksakan Arlita berhijab. Istrinya masuk Islam saja sudah menjadi kesyukuran terbesar baginya. Ia tak mau berharap lebih dari itu. Toh Arlita sudah menjadi wanita Muslimah yang sangat, sangat baik. Ibadah wajib yes, ibadah sunnah yes. Naik Haji sekali, umrah berkali-kali. Zakat fitrah dan mal berjalan konsisten. Sedekah tiap hari. Apa yang kurang?
Abi Assegaf hanya membimbing dan mengarahkan, tidak memaksa. Kenyamanan istrinya lebih penting. Jangan samakan Abi Assegaf dengan suami-suami fanatik penganut Islam garis keras. Ia bukan tipikal suami yang memaksakan istrinya harus berhijab dan melarangnya bekerja. Tidak, Abi Assegaf lebih moderat dari itu.
** Â Â
iPhonenya berdering. Dinding kekhusyukan Arlita runtuh. Ia lepas abayanya, melemparnya ke karpet, terburu-buru meraih benda berlogo apel itu, dan berlari keluar kamar. Takut membangunkan Abi Assegaf.
"Ya, halo?" sapa Arlita tanpa melihat siapa nama peneleponnya.
"Arlita, bisakah kamu ke gereja sekarang? Pohon Natal di gereja kita roboh."
Detik berikutnya, hati Arlita berpagut penyesalan. Seharusnya dia tak perlu mengangkat telepon Yonathan.
"Bukan gereja kita, tapi gerejamu." koreksi Arlita ketus.
"Bagiku kau masih memiliki pancaran inner beauty khas wanita Katolik, Arlita. Jadi..."
"Stop. Apa yang kauinginkan?"
Hening sejenak. Yonathan sengaja mengulur waktu. Beraninya dia mempermainkan Arlita.