Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Siaran Mistik di Ujung Malam

26 November 2018   06:00 Diperbarui: 26 November 2018   05:57 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini, Syifa sulit tidur. Mengubah-ubah posisi sudah ia lakukan. Memutar musik klasik sampai murattal Al-quran? Sudah. Terakhir ia membuat segelas susu hangat, hasilnya keinginan untuk tidur kian menipis.

Praktis, ia masih terjaga hingga pukul setengah dua belas malam. Jarum jam merayap pelan. Gadis cantik berpiyama soft pink itu duduk di pinggir ranjang. Rambutnya terlepas dari kunciran, tergerai bebas di punggung. Pesawat radio menyala, tepat di frekuensi 97.6 FM seperti biasa.

Suara Adica terdengar lembut. Khas karakter siaran program Nuansa Malam. Lagu-lagu yang diputarkan bukan lagu populer sepuluh tahun ke belakang. Melainkan lagu nostalgia. Di luar sana, hujan lebat mengguyur tanpa henti. Suara rinainya teredam tembok dan kaca.

"Adica...aku butuh kamu." desis Syifa, memeluk bantal.

Jika Adica tak kebagian program Nuansa Malam, ia akan tetap di sini. Menemani Syifa bercerita, memainkan biola untuknya, dan menggendongnya ke kamar saat gadis itu ttelah larut dalam lelap.

Lelap, sensasi yang merengkuh tubuh Arlita. Ibu Syifa dan Adica itu dapat tertidur dengan mudah. Lain halnya dengan Abi Assegaf. Sama seperti putrinya, dia masih terjaga. Didengarkannya program Nuansa Malam sampai habis.

Kasihan permata hatinya. Sejak Deddy meninggal, tanggung jawab Adica lebih besar. Abi Assegaf belum menemukan pengganti Deddy. Sulit mencari pengganti. Deddy takkan tergantikan.

Hening, sempurna hening. Hanya menyisakan deburan ombak di kejauhan. Tangan Abi Assegaf terulur, bersiap mematikan radio. Namun...

"Pendengar, saya kembali hadir menemani Anda. Sajian musik pilihan dan informasi akan terus dihadirkan bersama saya, Deddy Riantama."

Tubuh Abi Assegaf membeku. Tangannya melemas seketika. Tidak, tidak mungkin. Seharusnya durasi siaran Refrain Radio selesai. Tak ada lagi siaran lanjutan.

Detik berikutnya, terputar sebuah lagu. Sukses menenggelamkan Abi Assegaf dalam lautan kenangan. Ini pun salah satu lagu favorit Deddy.


Terlarut aku dalam kesendirian
Saat aku menyadari
Tiada lagi dirimu kini
Sampai kapankah aku mampu bertahan
Tertatih aku jalani
Semua kisah hidupku ini
Tak akan terganti
Setiap kenangan yang telah terukir
Dan terendap indah
Dan melekat di hati
Akankah berakhir
Semua rasa yang telah tercipta
Di dalam benakku
- Dan di dalam asaku (Samsons-Akhir Rasa Ini).

Terlarut dalam kesendirian dan kenangan, Abi Assegaf bernyanyi mengikuti alunan lagu. Suaranya bergetar menahan kedukaan. Wajah Deddy kembali membayang di pelupuk mata.

"Sampai kapan pun kau takkan terganti, Deddy..." bisiknya.

Titik-titik bening membasahi pipi Abi Assegaf. Pelan disekanya air bening itu. Pedihnya kehilangan sahabat.

Ada yang ganjil. Mengapa siaran Refrain Radio belum berakhir? Mengapa ada suara Deddy? Mengapa ada lagu-lagu kesukaan Deddy selama karier broadcastingnya? Menakutkan, ini sungguh menakutkan.

Radar kewaspadaan membangunkan Arlita. Begitu bangkit dari trance, Arlita tersentak kaget melihat suaminya belum terlelap.

"Assegaf, kenapa belum tidur? Kamu..."

"Aku tidak apa-apa, Arlita. Coba dengarkan."

Arlita menurut. Setelah menajamkan pendengaran, matanya sempurna terbuka. Nyaris saja ia jatuh dari tempat tidurnya andai tak ditahan Abi Assegaf.

"Assegaf...itu suara Deddy." Suara Arlita tercekat. Satu tangan memegangi dada, meredakan detak jantung yang mendebur.

Tanpa perlu diiyakan, mereka berdua pun tahu. Ada yang tidak beres. Ada misteri yang belum terpecahkan.

"Aku tidak bermimpi, kan? Ya, Allah, bukan hanya kamu dan Sasmita yang kehilangan...tapi aku juga."

Sesaat Arlita menutup wajah dengan bantal. Deddy sahabat suaminya, mantan kolega sesama penyiar di Refrain. Arlita memiliki kenangan baik dengan Deddy karena dipertemukan nasib yang sama. Deddy, pria keturunan Tionghoa itu, seorang mualaf. Allah menakdirkan persahabatan pluralis yang indah antara Zaki Assegaf yang blasteran Arab dan Muslim, Deddy Riantama dengan identitas ketionghoaan dan status Buddhisnya, serta Sasmita yang berdarah Sunda dengan keislamannya. Abi Assegaf menuntun Deddy dan Arlita pada cahaya Islam dengan lembut.

Baik Arlita maupun Deddy merasakan kepahitan yang sama setelah memeluk Islam. Diusir orang tua, dihapus dari daftar ahli waris, jatuh, lalu bangkit lagi. Sayangnya, Deddy tak seberuntung Arlita yang dinikahi Muslim taat. Deddy justru berjodoh dengan wanita Buddhis yang meninggal dalam keadaan tetap memeluk keyakinan lamanya.

**     

Bisik-bisik ingin tahu terdengar. Tatapan aneh dilemparkan. Adica dan Syifa turun dari mobil. Berjalan bergandengan tangan memasuki gedung fakultas.

Puluhan pasang mata mahasiswa mengikuti mereka dari halaman hingga lift. Mereka yang kenal Syifa dan pendengar setia Refrain Radio via streaming menyimpan tanya. Awalnya, dua objek yang ditatap tak sadar. Mereka rileks saja berjalan masuk lift.

Demi menebus waktu yang hilang, pagi ini Adica mengantar Syifa ke kampus. Merelakan waktu tidurnya. Syifa sempat menolak, namun Adica memaksa.

Adica menemani Syifa sampai di depan pintu kelas. Langsung saja hadirnya merebut atensi para mahasiswi. Spontan mereka meninggalkan tutorial video make up dan hijab, lalu beralih menikmati pesona Adica. Memandangi wajah tampannya lama-lama. Berharap kelak mereka bisa menggantikan posisi Syifa. Jangan mimpi.

Berbeda dengan kerumunan gadis, para mahasiswa justru menatap penuh tanya. Sebagian besar pendengar setia Refrain. Salah satu dari mereka mendekati Adica dan Syifa, lalu bertanya berani.

"Sekarang jam siaran Refrain Radio nambah ya? Kok masih ada siaran setelah jam dua belas malam?"

Jantung Adica berdetak dua kali lebih cepat. Tangan Syifa berubah dingin.

"Suara...siapa?" tanya Adica terbata.

"Suaranya empuk. Tapi bukan suaramu sih. Ehm...mirip suaranya Deddy Riantama."

Helaan nafas tertahan di tenggorokan mereka. Adica dan Syifa bertukar pandang ketakutan. Ternyata benar apa yang dikatakan Abi Assegaf beberapa malam lalu. Mereka kira, Abi Assegaf hanya terlalu lelah. Atau bisa saja efek delusional karena sakit dan semacamnya.

Ya, Allah, apa yang terjadi? Mungkinkah para pendengar lainnya curiga pula? Cepat-cepat Adica membuka grup komunitas pendengar. Benar, mereka tengah sibuk membicarakannya. Banyak yang menduga-duga kemungkinan mistik. Ada pula yang mengaitkan misteri ini dengan Qarin, golongan jin pendamping manusia dan menyaru sebagai sosok manusia yang telah mati.

Klise, sangat klise. Apa-apa dikaitkan dengan mistik. Apa-apa dihubungkan dengan takhayul. Seperti hidup di zaman Megalitikum saja. Primitif.

Tengkuk Syifa merinding membaca rangkaian chat WAG komunitas pendengar. Dicengkeramnya lengan Adica erat-erat hingga pemuda orientalis itu berteriak kesakitan. Bagaimana tidak, Syifa mencengkeram lengan kanan yang dulu dipenuhi bekas suntikan obat-obatan kemoterapi.

"Adica, bukankah waktu itu kamu siaran Nuansa Malam? Adakah yang mencurigakan?" Syifa menanyai, gugup.

"Tidak ada. Semuanya normal-normal saja. Hanya ada produser acara, operator, dan Pak Sasmita."

Wajah Syifa kembali hampa. Belum ada titik terang dalam misteri ini. WAG komunitas pendengar terus menggulirkan percakapan-percakapan takhayul. Kesal, Adica mengaktifkan fitur 'hening' pada grup itu.

"Syifa, aku harus pulang. Abi pasti butuh aku. Is it ok?"

Syifa mengangguk, melingkarkan lengan. Memberi pelukan singkat sebelum berjalan masuk kelas. Adica melangkah setengah berlari menuju lift.

Range Rover hitam itu dipacunya dalam kecepatan tinggi. Radio mobil menggemakan siaran Refrain. Di siang hari, siarannya normal dan tenang. Tak nampak kesan mistis sama sekali. Hari ini, Adica libur. Dia bertekad memantau siaran Refrain sampai akhir.

**     

Rumor menyebar cepat. Dugaan-dugaan makin liar saja. Banyak yang takut mendengarkan Refrain Radio. Kini, hadir julukan baru untuk Refrain selain Radio Inspiratif. Radio Mistik, itulah predikat barunya.

Rating Nuansa Malam menurun drastis. Pendengar Refrain Radio di malam hari merosot dengan jumlah mengkhawatirkan. Tak ada lagi dering telepon berulang kali di meja siaran. Tak ada lagi nada-nada bersemangat interaksi pendengar dengan penyiar. Whatsapp dan layanan pesan singkat tetiba sunyi. Semuanya dicekam ketakutan.

Virus ketakutan tak hanya dirasakan pendengar. Tetapi juga para penyiar. Rerata penyiar enggan kebagian program Nuansa Malam. Mereka lebih memilih tukar shift dibandingkan harus bersiaran hingga larut malam.

Operator dan produser acara ikut ketakutan. Suasana kotak siaran menjelang malam sontak mencekam. Sungguh, sungguh semuanya berubah dalam waktu singkat.

Ingin rasanya Abi Assegaf turun tangan. Namun, kondisi kesehatannya kurang stabil belakangan ini. Adica, Syifa, dan Arlita menjaganya ekstra ketat. Abi Assegaf dilarang tim dokter bepergian dan beraktivitas terlalu berat.

Malam-malam terlewati dalam kengerian. Misteri suara empuk di batas akhir durasi siaran belum juga terpecahkan. Teman-teman sefakultas Syifa tak lagi mau mendengarkan Refrain Radio. Waktu tidur Arlita dan Abi Assegaf terganggu karena sibuk memantau siaran mistis itu.

Menurunnya rating Refrain Radio bersamaan dengan memburuknya kondisi Abi Assegaf. Pernah seminggu penuh ia tak bisa berjalan. Hanya bisa duduk dan berbaring di tempat tidur. Arlita dan Syifa tak kuat mengangkat tubuh suami serta ayah inspiratif itu. Adica melakukannya tanpa diminta. Hari ketiga sampai ketujuh, Calvin menginap di rumah mewah tepi pantai dan membantu meringankan tugas Adica.

Minggu berikutnya, semua sedikit membaik. Paling tidak, Abi Assegaf punya kekuatan untuk berjalan sendiri. Frekuensi muntah dan Anorexianya perlahan berkurang.

Calvin ikut berempati pada kondisi Refrain Radio. Ia tunjukkan supportnya yang tulus dengan konsisten mendengarkan Refrain walaupun diganggu siaran mistis. Abi Assegaf, Arlita, dan Syifa sangat berterima kasih dengan konsistensi Calvin. Adica? Gengsi dan enggan mengakui, seperti biasa.

Malam itu, keluarga Assegaf kembali berkumpul bersama. Mereka mendengarkan siaran Refrain di kamar biru. Langit malam berawan, namun tak berhujan. Suara ombak meningkahi suara radio.

"Aku takut..." gumam Syifa.

"Jangan takut, Sayang. Takutlah hanya pada Allah." Abi Assegaf menenangkan. Terbatuk di sela kalimatnya.

Arlita mengusap darah di sudut bibir suaminya. Lalu meminumkan air. Detik-detik jelang berakhirnya durasi siaran. Syifa refleks merapatkan tubuhnya pada Adicca.

Dan...hadirlah siaran mistis itu. Syifa membenamkan wajah tanpa sadar. Wajah Arlita dan Abi Assegaf pucat pasi. Adica menekan dalam-dalam ketakutannya.

Suara Deddy begitu halus, ramah, dan simpatik. Disusul lagu-lagu populer favoritnya. Menyeramkan, itulah efek yang terasa.

Prang!

Kaca pintu balkon di samping Syiffa pecah. Ia berteriak, namun Adica melindunginya dari serpihan kaca yang berjatuhan. Betapa kagetnya keluarga Assegaf melihat Sasmita berdiri tegang di ambang pintu yang nyaris hancur.

"Sasmita...masya Allah. Ada apa?"

Tertatih Abi Assegaf beranjak menghampiri sahabatnya. Ia tak marah Sasmita menghancurkan pintunya. Tak mempermasalahkan pula kedatangan Sasmita yang jauh dari kata sopan. Tamu beretika mana yang masuk lewat balkon dan tanpa mengetuk pintu?

Sasmita berlutut di depan Abi Assegaf. Ia terisak-isak.

"Assegaf, maafkan aku..." ucapnya berulang-ulang.

"Iya. Kenapa, Sasmita? Cerita sama aku..." bujuk Abi Assegaf sabar.

Sekujur tubuh Sasmita gemetar hebat. Buku jarinya memutih ketika menunjuk pesawat radio.

"Aku...aku yang mengedit dan me-replay siaran Deddy tiap malam. Aku masih rindu padanya...aku belum bisa menerima kepergiannya secepat itu. Maafkan aku, maafkan aku."

Terungkap sudah. Tidak ada misteri, tidak ada takhayul. Pelakunya Sasmita. Arlita, Adica, dan Syifa shock bercampur marah. Abi Assegaf tetap tenang. Dipeluknya pria dengan tubuh 20 senti lebih pendek darinya itu.

"Jangan ulangi lagi ya...aku juga rindu Deddy. Aku juga sedih dia pergi. Tapi, bukan begitu caranya melampiaskan rindu. Jika kau masih rindu, doakanlah dia. Ingat-ingat kebaikannya. Jangan rusak Refrain Radio hanya karena kerinduan."

Sasmita mengangguk, matanya basah. Abi Assegaf menatap langit. Berharap Deddy melihat mereka di atas sana.

"Deddy, banyak yang sayang padamu. Sampai-sampai ada yang tak rela kau pergi begitu cepat."

**      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun