Bagi Arlita, melatih kesabaran sama seperti berlatih menulis naskah filler untuk radio. Semakin sering membuat filler, semakin mahir penulisnya. Ilmu sabar dipelajari tiap hari. Jenis ilmu tingkat tinggi. Hanya Tuhan yang bisa menilai. Ilmu sabar dipelajari dari lahir hingga mati.
Kesabaran Arlita ratusan kali lipat lebih besar sejak Abi Assegaf jatuh sakit. Merawat penderita kanker itu berat. Biar orang-orang sabar saja yang melakukannya. Setiap hari bagai penentuan. Apakah ini yang terakhir? Ataukah masih ada hadiah Tuhan di hari lain?
Lihatlah, apa yang dilakukan Arlita di pagi berawan ini. Mula-mula ia mengecek menu sarapan telah tersedia di ruang makan. Lalu ia kembali naik ke atas. Pagi ini, Arlita dan Abi Assegaf berdua saja di rumah. Syifa ada jadwal kuis. Adica berkeras siaran Harmoni Pagi.
"Assegaf...Assegaf, kau dimana, Sayang?" panggil Arlita cemas.
Kamar bernuansa biru laut itu kosong. Jantung Arlita nyaris berdetak. Mungkinkah suaminya kenapa-napa? Ia buka pintu kamar mandi. Kosong. Arlita lega karena tak menemukan bercak darah atau sosok pucat di dalam bathtub. Ia beralih ke balkon. Pelan dibukanya pintu kaca.
"Alhamdulillah kau ada di sini, Sayang. Kukira kau kenapa..." desah Arlita.
Abi Assegaf duduk di sofa hitam berbentuk dadu. Pesawat radio mungil tergeletak pasrah di dekat kakinya. Satu tangannya membekap dada. Entah kesakitan, entah kedinginan. Pelan-pelan Arlita mendekat. Mengajaknya turun sarapan. Abi Assegaf menggeleng lemah. Saatnya ilmu sabar dimanfaatkan.
"Ada apa, Sayang? Kamu anorexia lagi?"
"Tidak...aku hanya..."
Tepat pada saat itu, suara barithon Adica terdengar dari radio.
"97.6 FM Refrain, Brilian and inspiratif. Pendengar, masih bersama saya, Adica Wirawan Assegaf, di Harmoni Pagi. Sajian musik dan informasi akan menemani Andahingga pukul sembilan nanti. Pendengar, bagi Anda yang sedang dalam perjalanan ke tempat beraktivitas, hati-hati. Masih ada operasi zebra sampai tanggal 12 November...dan buat Anda yang berkendara sambil membawa keluarga, sahabat, atau orang lain, jaga keselamatan bersama."
Sesaat kemudian, terputar sebuah lagu. Arlita dan Abi Assegaf terenyak. Mengapa Adica memilih lagu itu di playlist? Sebuah lagu berirama ceria, namun liriknya galau luar biasa.
Makan di resto terenak
Membaca di sudut paling tenang
Menonton pertunjukan musik
Telusuri jalanan dari malam hingga pagi
Kita pernah lama bersama
Semua titik di kota ini adalah kita
Walau kau putuskan untuk pergi
Cerita kita tetap kan abadi
Percayalah sayang, berpisah itu mudah
Tak ada kamu di hidupku aku mampu
Namun menghapuskanSemua Kenangan kita
Adalah hal yang paling menyulitkan Untukku (Rizky Febian ft Mikha Tambayong-Berpisah Itu Mudah).
Arlita menggigit bibir bawahnya. Perasaannya tak enak. Abi Assegaf menundukkan wajah.
"Lagu itu mewakili perasaanku, Arlita." ungkapnya tetiba.
Refleks Arlita menatap tajam suaminya. Namun, ia tak berkata apa-apa. Hatinya yakin sekali, masih ada hal lain yang akan terkatakan.
Abi Assegaf menghela nafas. "Aku terpikir untuk berpisah darimu..."
"Lagi? Kau ingin berpisah dariku untuk kedua kali, Assegaf?" potong Arlita kaget.
"Aku sakit, Arlita. Paru-paruku digerogoti kanker. Bernafas dengan benar saja tak bisa, apa lagi menjaga dan mencinaimu. Aku tidak berguna, Arlita."
Diam, Abi Assegaf hanya diam. Wajah tampannya didominasi gurat keputusasaan. Tidak, ini tidak benar. Abi Assegaf mungkin saja terkena sindrom Body Dysmorphic, gangguan psikologis yang membuat orang terobsesi pada kekurangan fisik dan membenci diri sendiri.
Arlita memegang lembut lengan Abi Assegaf. Sungguh, ia cemas bila sang belahan jiwa sudah begini. Kondisi psikis orang berpenyakit serius sulit ditebak. Mungkinkah saat ini semangat hidup Abi Assegaf patah?
"Zaki Assegaf yang kukenal tidak begini..." ucap Arlita perlahan.
"Karena Zaki Assegaf yang sekarang sudah tidak berguna."
Sebagai seorang istri, ini cobaan untuk Arlita. Istri salihah dan tegar akan tetap mendampingi suaminya dalam kondisi apa pun. Dengan suara bergetar, Arlita membisikkan kata.
"Assegaf, jangan pernah ucapkan kata pisah. Sudah cukup kita menderita dalam tahun-tahun perpisahan. Benar, berpisah denganmu mudah. Menghapuskanmu dari hidupku, itu yang tersulit."
Air mata terjun bebas ke pipi Arlita. Tubuhnya berguncang menahan isak. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Abi Assegaf tersadar apa yang telah ia lakukan. Hatinya terhantam rasa bersalah.
Tangan kurus berjari panjang itu terulur. Lembut dihapusnya air mata Arlita. Abi Assegaf menarik tubuh Arlita ke pelukannya. Pedih mengaliri hati Arlita, pedih yang sama mengalir ke hatinya.
Dalam rengkuhan pemimpin Assegaf Group itu, Arlita tergugu. Gemetar tangannya mengusap-usap punggung Abi Assegaf. Belaian kasih seorang istri yang telah membulatkan janji untuk merawat suaminya.
"Assegaf, hatiku tak pernah rela...jika harus berpisah lagi denganmu."
"Maafkan aku, Arlita. Maaf..."
"Aku selalu takut tak pernah bisa memelukmu lagi...sungguh aku takut. Aku ingin kau yang jadi pendampingku dunia-akhirat."
Arlita takut tak pernah bisa memeluknya lagi? Sesuatu yang lembut menyentuh hati Abi Assegaf. Ruang pemahaman membuka. Masih ada yang butuh dirinya. Masih ada yang menginginkan dekapannya. Masih ada sepercik kasih darinya yang dinantikan orang lain.
"Assegaf, jangan pernah ucapkan kata pisah. Aku tak mau mendengarnya lagi darimu." Arlita memohon.
Satu anggukan dan kerlingan mata sudah cukup. Beban berat di hati Arlita sedikit terangkat. Perpisahan, mimpi terburuk pasangan yang telah menikah. Jangan sampai ada perpisahan lagi untuk kali kedua.
** Â Â Â
Bila Arlita mengusap air mata kesedihan, Tuan Effendi mengusap air mata kemarahan. Ayah dua anak itu marah pada keadaan. Hati dan jiwanya tak terima bila sang anak pertama terlalu dekat dengan ayah lain.
Sebulir air mata kemarahan membasahi dokumen-dokumen yang belum ditandatanganinya. Tak berkonsentrasi bekerja di kantor, Tuan Effendi membawa semua pekerjaannya ke rumah. Hati komisaris utama itu berantakan gegara pimpinan Assegaf Group yang terlalu dekat dengan putranya.
Nyonya Rose bukannya tutup mata. Dia sangat memahami perasaan suaminya. Namun, apa yang bisa dilakukan?
Satu-satunya yang bisa dilakukan sang nyonya sosialita hanyalah membuatkan cappucino. Mengantarkannya ke ruang kerja Tuan Effendi. Celakanya, saat itu Nyonya Rose lupa mematikan streaming Refrain Radio dari iPhone. Suara radio terdengar jelas.
"Ini untukmu, Sayang." kata Nyonya Rose seraya meletakkan segelas cappucino di atas meja.
"Kau mendengarkan Refrain?" sergah Tuan Effendi.
"Iya. Memangnya tidak boleh mendengarkan siaran anak sendiri?"
Prang!
Gelas kristal tak bersalah. Cappucino hangat dengan aromanya yang menggoda juga tak sepantasnya disalahkan. Namun, dua benda padat dan cair itu jadi sasaran kemarahan.
"Effendi, apa yang kaulakukan?" jerit Nyonya Rose melihat gelas koleksinya pecah.
"Belum puaskah Assegaf mengambil Adica? Lalu, kini dia merebut anak pertamaku!"
Nyonya Rose mendesah. Memprotes hati, memprotes kedekatan dan kasih sayang. Dibandingkan sang suami, toleransinya jauh lebih besar. Ia tak keberatan Calvin dan Adica dekat dengan Abi Assegaf.
"Effendi, Assegaf sedang sakit. Anak-anak kita itu baik hatinya. Wajar kalau mereka perhatian..."
"Oh, jadi karena sakit ya! Bagaimana kalau aku yang sakit? Apakah mereka akan seperhatian itu?"
Kata-kata adalah doa. Doa yang mengancam bila mengharap sakit. Adica dan Calvin sendiri bukannya sudah bebas dari penyakit. Hanya saja, kondisi mereka jauh lebih baik. Praktis mereka lebih mampu meluangkan waktu untuk Abi Assegaf.
"Tidak ada orang yang mau sakit. Sakit ada untuk menghargai nikmat sehat."
"Tapi, jika sakit bisa mendekatkanku lagi dengan anak-anak, aku mau saja mengalaminya."
Rupanya hati Tuan Effendi tertutup noda hitam. Noda hitam berbentuk iri. Iri pada Abi Assegaf yang dekat dengan kedua putranya. Begitu besar pengaruh Abi Assegaf sampai-sampai si putra bungsu menolak tinggal bersamanya.
Lupakah Tuan Effendi bila setiap orang sudah punya jalan hidupnya masing-masing? Abi Assegaf sakit kanker, itu pun sudah jadi bagian dari jalan hidupnya. Kita bisa memiliki hati, cinta, dan raga seseorang. Namun kita tak pernah bisa memiliki jalan hidupnya.
** Â Â Â
Calvin tergesa-gesa memasuki studio siaran. Melihat kedatangan kakaknya, Adica tertegun. Ia berhenti membaca naskah featurenya.
"Sorry...aku mengganggu ya? Tapi aku sudah minta izin sama Pak Sasmita." Calvin meminta maaf.
"Ada apa?" tanya Adica datar.
Bukannya menjawab, Calvin malah balik bertanya. "Boleh aku duduk?"
Adica menunjuk kursi di dekat perangkat komputer dan mixer tanpa kata. Calvin menduduki kursi empuk itu.
Keheningan berlalu dalam kecanggungan. Sungguh, Calvin tak punya alasan khusus datang ke sini. Dia hanya rindu adiknya. Adik yang telah lama dicari-cari, kini ada di hadapannya. Meski sang adik tak berselera mencintainya sebagai kakak.
"Ada apa kamu ke sini?" ulang Adica.
Sepersekian detik Calvin sibuk mencari-cari alasan. Nampaknya Adica tak suka berbasa-basi dengan Calvin. Benaknya mencetuskan sebuah ide.
"Sebentar lagi ulang tahun Abi Assegaf, kan? Bagaimana kalau kita buat surprise untuknya?"
Refleks Adica menepuk dahi. Bagaimana dia ini? Bisa-bisanya anak orang lain yang teringat memberi kejutan di hari ulang tahun ayahnya.
"Sure. Ayo kita buat sesuatu yang berkesan untuk Abi." sambut Adica senang.
Kelegaan mengaliri hati Calvin. Untunglah ulang tahun itu bisa dijadikan alasan. Dengan begini, ada sebab khusus dirinya bisa dekat dengan adiknya. Calvin Wan memang brilian.
** Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI