"Zaki Assegaf yang kukenal tidak begini..." ucap Arlita perlahan.
"Karena Zaki Assegaf yang sekarang sudah tidak berguna."
Sebagai seorang istri, ini cobaan untuk Arlita. Istri salihah dan tegar akan tetap mendampingi suaminya dalam kondisi apa pun. Dengan suara bergetar, Arlita membisikkan kata.
"Assegaf, jangan pernah ucapkan kata pisah. Sudah cukup kita menderita dalam tahun-tahun perpisahan. Benar, berpisah denganmu mudah. Menghapuskanmu dari hidupku, itu yang tersulit."
Air mata terjun bebas ke pipi Arlita. Tubuhnya berguncang menahan isak. Sedetik. Tiga detik. Lima detik, Abi Assegaf tersadar apa yang telah ia lakukan. Hatinya terhantam rasa bersalah.
Tangan kurus berjari panjang itu terulur. Lembut dihapusnya air mata Arlita. Abi Assegaf menarik tubuh Arlita ke pelukannya. Pedih mengaliri hati Arlita, pedih yang sama mengalir ke hatinya.
Dalam rengkuhan pemimpin Assegaf Group itu, Arlita tergugu. Gemetar tangannya mengusap-usap punggung Abi Assegaf. Belaian kasih seorang istri yang telah membulatkan janji untuk merawat suaminya.
"Assegaf, hatiku tak pernah rela...jika harus berpisah lagi denganmu."
"Maafkan aku, Arlita. Maaf..."
"Aku selalu takut tak pernah bisa memelukmu lagi...sungguh aku takut. Aku ingin kau yang jadi pendampingku dunia-akhirat."
Arlita takut tak pernah bisa memeluknya lagi? Sesuatu yang lembut menyentuh hati Abi Assegaf. Ruang pemahaman membuka. Masih ada yang butuh dirinya. Masih ada yang menginginkan dekapannya. Masih ada sepercik kasih darinya yang dinantikan orang lain.