Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Setiap Orang Memiliki Kisah Hidup

8 November 2018   06:00 Diperbarui: 8 November 2018   06:51 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua perawat menahan langkah Arlita. Wajah wanita itu menegang. Di dalam sana, suaminya tengah melawan maut. Tak mungkin ia diam begitu saja.

"Anda harus tunggu di luar. Biar kami bisa menangani suami Anda." kata suster tegas.

"Saya ingin menemaninya...saya ingin di sampingnya!" Arlita berkeras.

"Tidak bisa. Lebih baik Anda tunggu di luar dan doakan suami Anda."

Pintu berdebam menutup di depan wajah Arlita. Kalimat terakhir si perawat bernada sentimen agama. Berdoa? Memangnya dia Tuhan atau pemuka agama? Berdoa itu pilihan. Domain yang sangat, sangat private. Tak bisa dicampuri entitas lain di luar diri seseorang.

Arlita terduduk lemas di kursi ruang tunggu. Kebahagiaannya lesap. Bola matanya berawan. Sesaat kemudian, kedua matanya berhujan. Pundak Arlita berguncang hebat menandakan isak tangis yang dalam.

Adica, Syifa, Calvin, Tuan Effendi, dan Nyonya Rose tiba. Syifa memeluk Umminya, bergantian dengan Adica. Wajah Tuan Effendi dan Nyonya Rose beku tanpa ekspresi. Calvin berkali-kali minta maaf. Ia merasa, salah Papanyalah hingga Abi Assegaf jatuh sakit.

Tentu saja Arlita, Syifa, dan Adica yang paling terpukul. Tragedi malam ini menerbitkan kekhawatiran dan tanda tanya besar. Mengapa Abi Assegaf kesakitan? Mengapa Abi Assegaf jatuh pingsan?

Firasat Arlita membisikkan, ada yang disembunyikan suaminya. Mungkinkah Abi Assegaf menutup dan menahan rasa sakit setelah sekian lama?

Jika bertanya pada mereka, jawabannya tentu tak percaya. Selama ini, Abi Assegaf sosok tegar dan tangguh. Sulit membayangkan sosok setegar itu dihantam penyakit serius.

Gelisah, Arlita berjalan ke depan kaca. Dilihatnya Abi Assegaf terbaring lemah dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Bekas darah sudah dibersihkan. Wajah Abi Assegaf begitu pucat. Kembali Arlita menangis. Ia tak tahan, sungguh tak tahan memandangi suaminya dalam kondisi seperti itu.

Keheningan berlalu menyakitkan. Tidak kuat dengan situasi ini, Adica bersiap berdiri. Belum sempat selangkah pun ia beranjak, Tuan Effendi dan Calvin menahannya.

"Adica...mau kemana, Nak?" tanya Tuan Effendi halus.

"Saya mau shalat untuk mendoakan Abi." jawab Adica singkat.

Memaksakan diri, Calvin ikut bangkit. "Aku temani ya. Memangnya yang mau mendoakan Abi Assegaf kamu saja?"

Mau tak mau Adica terenyak. Benar, banyak yang menyayangi Abi Assegaf. Abi Assegaf bukan hanya ayah Syifa ataupun Adica, tetapi juga ayah dari banyak anak.

Diiringi tatapan sendu, Calvin dan Adica bergegas pergi. Mushala kecil di sayap kiri gedung rumah sakit telah menanti. Lama mereka tegak dalam shalat. Berdoa, berdoa, dan berdoa. Mereka berdoa di atas tumpukan kegelisahan.

**     


Jangan biarkan damai ini pergi

Jangan biarkan semuanya berlalu

Hanya padaMu Tuhan

Tempatku berteduh

Dari semua kepalsuan dunia (Chrisye-Damai BersamaMu).

Pria tampan berlesung pipi itu jatuh. Jatuh dalam rasa sakit. Hanya pada saat-saat tertentu Abi Assegaf menangis: saat shalat Tahajud, saat umrah, dan saat keluarganya tertimpa masalah berat. Itu pun ia lebih sering menyembunyikan air mata.

Namun...kini? Lihatlah, bulir bening berkilauan di mata teduh itu. Abi Assegaf menangis bukannya lemah, tetapi menahan sakit luar biasa. Tim medis mengelilingi tempat tidurnya. Beberapa berbisik-bisik kalut. Arlita menggenggam erat tangannya. Adica dan Syifa amat berharap tubuh merekalah yang terbaring di ranjang itu.

"Abi...Abi harus kuat. Abi jangan tinggalkan Syifa." isak Syifa memohon.

"Aku masih butuh Abi..."

Hanya itu yang bisa Adica katakan. Tak tahukah kata-katanya telah menyakiti potongan hati yang lain?

Beberapa kali Abi Assegaf sesak nafas. Entah apa sakit yang menggerogoti dadanya. Sakit itu masih jadi tabir misteri bagi Adica, Arlita, dan Syifa. Tapi, yang terpenting bagi mereka kini hanyalah selalu ada di samping Abi Assegaf.

Kesedihan membuncah. Menggerogoti rasa, memahat luka. Pedih membayangi, menakuti dengan firasat kehilangan. Pukulan berat menghantam jiwa ketiga anggota keluarga Assegaf.

"Assegaf...demi Allah, kita baru saja rujuk. Aku baru merasakan bahagia sesaat...haruskah semua ini berakhir begitu cepat?" tangis Arlita, membelai-belai tangan Abi Assegaf.

Tangan pria itu dingin sekali. Ya, Allah, haruskah pria sebaik dan segegar itu dihantam ujian lagi setelah merasakan manisnya kebahagiaan sekejap?

Abi Assegaf terbatuk. Darah mengalir bersama dahak. Arlita menyeka lembut darah itu.

Sakit, pasti sangat sakit. Arlita paham itu. Andai saja ada ilmu memindahkan rasa sakit, Arlita akan lakukan itu demi meringankan beban kesakitan pendamping hidupnya.

"Kamu harus kuat, Assegaf...bertahanlah, Sayangku. Demi anak-anak kita, demi aku..."

Tak kehabisan cara, Arlita membungkuk. Diciumnya kening Assegaf penuh kasih.

"Aku punya cerita untukmu. Kau pasti ingat cerita ini."

Dalam kondisi setengah sadar, Abi Assegaf mampu mendengar dan merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Dapat ia rasakan permohonan Syifa, kesedihan Adica, dan kelembutan istrinya kala bercerita.

"Setiap orang memiliki kisah hidup." Arlita memulai, satu tangannya menggeser ikon play di iPhonenya. Memutarkan musik instrumental Damai BersamaMu.

"Seorang lelaki 24 tahun berada di kereta api bersama ayahnya. Ia melirik keluar jendela. "Ayah, lihat pohon itu berjalan" Pasangan muda yang duduk di belakangnya menatap pria 24 itu dengan kasihan. "Ayah, awan itu terlihat berlari mengejar kita!" Pasangan ini tak bisa menahan diri. "Mengapa tak dibawa ke dokter jiwa?" Orang tua itu berkata, "Saya sudah membawanya ke dokter dan kami baru pulang dari rumah sakit. Anak saya buta sejak lahir, baru bisa dapat donor mata dan baru bisa melihat hari ini." Saat itu pun dua pasangan terperangah. Mendengar jawaban sang ayah.

Tiap orang memiliki cerita tersendiri. Jangan menilai orang lain sebelum Anda benar-benar mengenalnya. Janganla berburuk sangka terlebih dulu. Hendaklah mengenal lebih jauh apa yang Anda bicarakan."

Air mata meluncur jatuh. Arlita dan Abi Assegaf menangis di saat bersamaan. Di dekat mereka, Adica dan Syifa berpelukan. Ikut terlarut dengan kesedihan orang tua mereka.

"Itu salah satu cerita inspiratif yang kaubawakan di Harmoni Pagi. Kau ingat kan, Sayangku? Ingatanmu masih kuat...aku tahu." Arlita tertawa di antara isaknya.

"Setiap orang punya kisah hidup, Assegaf. Itu benar. Kamu, aku, anak-anak kita, Calvin, Pak Effendi, semua punya kisah hidupnya masing-masing. Di tiap kisah hidup, ada ujian. Aku harap kamu kuat menghadapi ujian dalam kisah hidupmu, Assegaf."

Dengan lembut, Arlita mencium tangan Abi Assegaf. Pelan ditempelkan ke pipi. Ujian dalam kisah hidup, itu benar. Kini Abi Assegaf harus menempuh ujian lagi.

**    

Sepasang mata teduh itu membuka. Abi Assegaf terbangun. Malam membubung, menggapai kabut. Untaian tipis kabut melayang-layang di luar jendela.

Kamar rumah sakit teramat sunyi. Diliriknya ke samping kiri. Trenyuh hati Abi Assegaf. Arlita terlelap di samping ranjang, masih memegang tangannya. Adica dan Syifa tertidur dalam posisi duduk di sofa. Kepala Syifa tersandar ke bahu Adica. Sementara itu, lengan Adica melingkari leher Syifa.

Ya, Allah, mereka semua lelah karenanya. Bahkan...lihatlah, Adica tetap menjaganya walau dirinya sendiri tengah sakit. Kepala Abi Assegaf tertunduk dalam.

Pandangannya tertumbuk pada satu titik: noda darah di ranjang. Pasti itu darahnya sendiri. Entah karena hematemesis/muntah darah atau hemoptisis/batuk darah. Begitu mengenaskankah organ tubuhnya hingga darah pun enggan berlama-lama di dalam tubuhnya lagi?

Samar, terdengar keributan kecil di luar ruang rawat. Sulit melihat dari sini. Namun, mata hatinya mengatakan ia mengenali sosok-sosok pencipta keeributan di tengah malam begini.

"Jangan, Effendi...jangan. Kau tak boleh mengganggunya. Pak Assegaf sedang sakit."

"Lebih sakit mana? Aku atau Pak Assegaf? Rose, kenapa kau terus-terusan membelanya?"

"Tidak, aku tidak membelanya. Aku hanya takut Adica akan makin membenci kita."

Ketakutan menggelembung di hati. Tubuh Abi Assegaf gemetar seketika. Ada bahaya, ada yang akan mengambil Adica darinya.

Tidak, ini tak boleh dibiarkan. Benang-benang impuls di otaknya mendorong kenekatan. Perlahan pria blasteran Arab-Indonesia itu mencoba bangkit dari tempat tidur. Sekali, dua kali, tiga kali, usahanya berhasil.

Kedua kakinya serasa digantungi barbel. Ya, Allah, belum pernah ia selemah ini. Nikmat sehat sungguh tak dapat didustakan. Sakit hadir untuk menghargai sehat.

Baru dua langkah menuju pintu, tetiba Abi Assegaf terjatuh. Ia mengerang kesakitan tanpa bisa dicegah lagi. Suara rintihannya membangunkan Arlita, Adica, dan Syifa. Ketiganya terburu mendekat, membantunya berdiri.

"Astaghfirullah...Abi, kenapa bisa begini?" desis Syifa panik.

"Abi tidak apa-apa?" tanya Adica cemas.

Kekhawatiran terlukis dalam di mata Arlita. Dipegangnya tangan Abi Assegaf. Sekali-dua kali pandangannya terarah ke jendela. Ruang pemahaman membuka.

"Pelan-pelan, Sayangku. Biar aku yang hadapi mereka. Takkan ada yang bisa mengambil Adica dari kita." Arlita berbisik menenangkan.

Setelah membaringkan kembali Abi Assegaf, Arlita bergegas keluar. Ia berhadapan dengan Tuan Effendi, Nyonya Rose, dan Calvin. Ketegangan bergolak. Menaikkan atmosfer tak nyaman di sekeliling koridor rumah sakit.

Tatapan mata Arlita begitu tajam. Wanita mualaf itu mengangkat dagu dengan angkuh, lalu berkata.

"Jangan ganggu keluarga Assegaf lagi."

Mendengar itu, Tuan Effendi bertolak pinggang. Nyonya Rose mengerjapkan mata. Calvin sedikit menundukkan pandang.

"Ummi Arlita, saya minta maaf. Tapi, kenyataannya dia memang adik saya. Saya menginginkan dia, saya merindukan dia..."

"Suamiku jauh lebih mencintai dia dari kamu. Dari keluarga kandungnya sendiri yang telah menyia-nyiakannya." sela Arlita sarkastik.

Kata-katanya tajam menusuk. Setajam pedang Gryffindor yang ditusukkan ke Horcrux kalung Slytherin milik Voldemort dalam serial Harry Potter 7. Calvin dan kedua orang tuanya terenyak.

Intimidasi, itulah strategi Arlita. Lawan musuhmu dengan cara memblok mentalnya. Arlita akan melakukan apa pun demi kebahagiaan Abi Assegaf dan keutuhan keluarganya.

Sudah, sudah cukup. Hati mereka telah cukup diberi dosis kesakitan. Arlita berbalik kembali ke dalam ruangan. Disambuti tiga pasang mata yang menatap penuh arti.

"Kau tak perlu khawatir, Assegaf. Mereka takkan berani macam-macam." ucap Arlita, lalu mencium kening Abi Assegaf.

Mata Abi Assegaf terpejam. Wajah Syifa berangsur lega. Adica menatap hampa ke luar jendela. Pikirnya, apa yang dilakukan Arlita benar. Toh ia tidak menginginkan lagi keluarga kandungnya. Setelah apa yang mereka lakukan selama ini. Pintu hati Adica tertutup rapat untuk mereka. Jangan salahkan hati yang membeku karena ketidakpedulian dan pembiaran. Hati tak pernah salah.

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun