"Setiap orang punya kisah hidup, Assegaf. Itu benar. Kamu, aku, anak-anak kita, Calvin, Pak Effendi, semua punya kisah hidupnya masing-masing. Di tiap kisah hidup, ada ujian. Aku harap kamu kuat menghadapi ujian dalam kisah hidupmu, Assegaf."
Dengan lembut, Arlita mencium tangan Abi Assegaf. Pelan ditempelkan ke pipi. Ujian dalam kisah hidup, itu benar. Kini Abi Assegaf harus menempuh ujian lagi.
** Â Â
Sepasang mata teduh itu membuka. Abi Assegaf terbangun. Malam membubung, menggapai kabut. Untaian tipis kabut melayang-layang di luar jendela.
Kamar rumah sakit teramat sunyi. Diliriknya ke samping kiri. Trenyuh hati Abi Assegaf. Arlita terlelap di samping ranjang, masih memegang tangannya. Adica dan Syifa tertidur dalam posisi duduk di sofa. Kepala Syifa tersandar ke bahu Adica. Sementara itu, lengan Adica melingkari leher Syifa.
Ya, Allah, mereka semua lelah karenanya. Bahkan...lihatlah, Adica tetap menjaganya walau dirinya sendiri tengah sakit. Kepala Abi Assegaf tertunduk dalam.
Pandangannya tertumbuk pada satu titik: noda darah di ranjang. Pasti itu darahnya sendiri. Entah karena hematemesis/muntah darah atau hemoptisis/batuk darah. Begitu mengenaskankah organ tubuhnya hingga darah pun enggan berlama-lama di dalam tubuhnya lagi?
Samar, terdengar keributan kecil di luar ruang rawat. Sulit melihat dari sini. Namun, mata hatinya mengatakan ia mengenali sosok-sosok pencipta keeributan di tengah malam begini.
"Jangan, Effendi...jangan. Kau tak boleh mengganggunya. Pak Assegaf sedang sakit."
"Lebih sakit mana? Aku atau Pak Assegaf? Rose, kenapa kau terus-terusan membelanya?"
"Tidak, aku tidak membelanya. Aku hanya takut Adica akan makin membenci kita."