Abi Assegaf terbatuk. Darah mengalir bersama dahak. Arlita menyeka lembut darah itu.
Sakit, pasti sangat sakit. Arlita paham itu. Andai saja ada ilmu memindahkan rasa sakit, Arlita akan lakukan itu demi meringankan beban kesakitan pendamping hidupnya.
"Kamu harus kuat, Assegaf...bertahanlah, Sayangku. Demi anak-anak kita, demi aku..."
Tak kehabisan cara, Arlita membungkuk. Diciumnya kening Assegaf penuh kasih.
"Aku punya cerita untukmu. Kau pasti ingat cerita ini."
Dalam kondisi setengah sadar, Abi Assegaf mampu mendengar dan merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Dapat ia rasakan permohonan Syifa, kesedihan Adica, dan kelembutan istrinya kala bercerita.
"Setiap orang memiliki kisah hidup." Arlita memulai, satu tangannya menggeser ikon play di iPhonenya. Memutarkan musik instrumental Damai BersamaMu.
"Seorang lelaki 24 tahun berada di kereta api bersama ayahnya. Ia melirik keluar jendela. "Ayah, lihat pohon itu berjalan" Pasangan muda yang duduk di belakangnya menatap pria 24 itu dengan kasihan. "Ayah, awan itu terlihat berlari mengejar kita!" Pasangan ini tak bisa menahan diri. "Mengapa tak dibawa ke dokter jiwa?" Orang tua itu berkata, "Saya sudah membawanya ke dokter dan kami baru pulang dari rumah sakit. Anak saya buta sejak lahir, baru bisa dapat donor mata dan baru bisa melihat hari ini." Saat itu pun dua pasangan terperangah. Mendengar jawaban sang ayah.
Tiap orang memiliki cerita tersendiri. Jangan menilai orang lain sebelum Anda benar-benar mengenalnya. Janganla berburuk sangka terlebih dulu. Hendaklah mengenal lebih jauh apa yang Anda bicarakan."
Air mata meluncur jatuh. Arlita dan Abi Assegaf menangis di saat bersamaan. Di dekat mereka, Adica dan Syifa berpelukan. Ikut terlarut dengan kesedihan orang tua mereka.
"Itu salah satu cerita inspiratif yang kaubawakan di Harmoni Pagi. Kau ingat kan, Sayangku? Ingatanmu masih kuat...aku tahu." Arlita tertawa di antara isaknya.