Menu disajikan. Apa yang ditakutkannya terjadi. Benar saja, putra kesayangan Abi Assegaf kesulitan menggerakkan pisaunya. Dengan lembut, Abi Assegaf membantu Adica memotong grilled fish-nya. Malukah Abi Assegaf? Sama sekali tidak. Ia justru bangga, bangga bisa mengasihi mereka yang istimewa.
Kelembutan dan ketenangan Abi Assegaf kontras dengan gosip yang membadai di antara para tamu. Mereka memberontak, mengeluh, menyayangkan, dan mengkritisi pilihan Abi Assegaf.
"Parah...apa maunya si Assegaf itu?"
"Iya, masa mengangkat anak sakit-sakitan kayak gitu?"
"Memalukan ya...wah, bisa jadi berita hangat besok pagi. Wartawan udah tahu belum ya?"
Biar saja mereka menjustifikasi. Biar saja mereka bicara negatif. Memangnya Abi Assegaf peduli dengan kenakalan pers? Toh hisab seseorang bukan ditentukan dari persepsi orang lain, tetapi langsung dari Allah.
Meski begitu, tak semua tamu merendahkan. Ada pula segelintir tamu undangan yang berpikiran pro. Mereka salut pada Abi Assegaf. Rerata mereka sudah kenal Abi Assegaf sejak lama, bukan sebagai klien bisnis. Deddy dan Sasmita salah satunya. Mata hati dua penyiar senior itu telah terbuka sempurna.
Ketika sisa-sisa makanan telah bersih dari meja, Abi Assegaf naik ke panggung. Ballroom perlahan hening. Semua mata tertuju padanya. Meja utama kini kosong.
"Assalamualaikum Warahmatullahi wa barakatuh...selamat malam. Terima kasih pada hadirin sekalian yang telah meluangkan waktu untuk memenuhi undangan gala dinner Assegaf Group." sapa Abi Assegaf hangat, tersenyum menawan pada seluruh audience.
Para tamu khusyuk mendengarkan. Yakin sekali ada yang jauh lebih penting dari sapaan dan ucapan terima kasih.
"Malam ini, saya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian semua. Gala dinner bukan hanya untuk merayakan pernikahan kedua saya dengan Arlita..."