Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Tulang Rusuk Malaikat] Jika Keluarga Kandungmu Kembali

6 November 2018   06:00 Diperbarui: 6 November 2018   06:16 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Allahu Akbar..." Abi Assegaf memimpin tiga makmumnya bersujud.

Jangan salah sangka. Empat sosok tampan dan cantik berkulit putih ini bukannya mualaf yang baru belajar shalat. Mereka sudah terbiasa shalat sejak kecil. Hanya saja, shalat Subuh kali ini spesial. Abi Assegaf mengimami mereka. Shalat berjamaah dalam keluarga, hal yang sudah lama tak mereka lakukan. Ingin rasanya dua rakaat shalat Subuh itu tak cepat berakhir.

Akhir, akhir dari ibadah pagi yang indah. Tuan Effendi menutup dengan salam. Calvin dan Nyonya Rose mengikuti. Sejurus kemudian, ketiganya saling meraih tangan. Berpelukan.

"Papa, kenapa sedih?" tanya Calvin lembut.

"Aku saja yang mau kemo keempat tidak sedih."

Tuan Effendi tersenyum kecil. Lembut diusapnya sisa rambut Calvin.

"Tidak apa-apa, Sayang. Papa hanya merasa..."

"Bahagiaaa sekali." Arlita berbisik serak, matanya berkaca-kaca.

Tak hanya Arlita yang bahagia. Abi Assegaf, Syifa, dan Adica tak kalah bahagianya. Air mata mengalir tanpa suara. Air mata bahagia, bukan air mata duka.

Duka, entitas tak kasat mata yang membuat Silvi enggan shalat di masjid. Sama engannya seperti ia mengunjungi pantai dan lautan. Revan memahami isi hati adiknya.

"Ya sudah, aku tak jadi shalat di masjid. Aku di sini saja. Aku imami ya?"

Silvi mengangguk. Perlahan menyusut air mata. Wajahnya berangsur lega. Syukurlah kakaknya tak meninggalkannya sendirian di rumah. Revan membaca Al-Fatihah dengan tartil. Rakaat pertama, ia melagukan ayat ke286 Surah Al-Baqarah. Ayat yang membuat Silvi kembali meneteskan air mata.

Ia teringat kali terakhirnya ke masjid. Waktu itu, Silvi diusir jamaah perempuan berkulit coklat. Silvi dilarang shalat karena ia disangka Non-Muslim. Beberapa jamaah akhwat fanatik meneriakinya kafir. Kulit putih dan mata biru sanggup menerbitkan stereotip. Virus prasangka menyebar di rumah ibadah. Sejak saat itu, Silvi trauma. Ia tak mau lagi ke masjid. Toh wanita memang tidak wajib shalat berjamaah di rumah Allah.

"Yah...kok nangis lagi sih?" tegur Revan usai shalat. Ia merengkuh Silvi ke pelukannya.

"Memangnya aku tidak boleh menangis, Adica?" sanggah Syifa halus. Bulir bening membasahi pipi.

Adica terdiam. Air mata Syifa jatuh karena dirinya. Sebentar lagi ia harus ke rumah sakit. Hari ini jadwal kemoterapi. Berat bagi Syifa tiap kali jadwal itu tiba.

Arlita menengahi. Dia berjanji akan menemani Syifa dan Adica ke rumah sakit. Melihat sikap keibuan istrinya, hati Abi Assegaf terasa hangat. Ya, Allah, bisakah momen manisnya cinta ini tak hanya berlangsung di dunia? Tetapi juga di akhirat?

**     


Sumpah tak ada lagi kesempatanku
Untuk bisa bersamamu
Kini ku tahu
Bagaimana cara ku untuk
Dapat terus denganmu
Bawalah pergi cintaku
Ajak kemana pun kau mau
Jadikan temanmu
Temanmu paling kaucinta
Di sini ku pun begitu
Terus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku
Sampai waktu yang pertemukan kita nanti
Sumpah tak ada lagi kesempatanku
Untuk bisa bersamamu
Kini ku tahu
Bagaimana cara ku untuk
Dapat terus denganmu
Bawalah pergi cintaku
Ajak kemana pun kau mau
Jadikan temanmu
Temanmu paling kaucinta
Di sini ku pun begitu
Terus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku
Sampai waktu yang pertemukan kita nanti
Bawalah pergi cintaku
Ajak kemana pun kau mau
Jadikan temanmuTemanmu paling kaucinta
Di sini ku pun begitu
Terus cintaimu di hidupku
Di dalam hatiku
Sampai waktu yang pertemukan kita nanti (Afgan ft Sheila Majid-Bawalah Cintaku).

Biola Adica menyentuh rasa. Piano Calvin melembutkan hati. Mereka berduet di halaman rumah sakit. Suara bass Calvin yang lembut dan empuk berpadu indah dengan suara barithon Adica. Revan, Silvi, dan Abi Assegaf ikut bernyanyi.

Aksi mereka menuai kekaguman beberapa suster dan pasien rumah sakit. Keasyikan mereka berjalan-jalan di taman rumah sakit terurai. Suara tepuk tangan terdengar tepat ketika lagu usai.

"Great..." Calvin memuji Adica.

"Thanks. Kamu jauh lebih hebat." kata Adica merendah, menyimpan biolanya.

"Kalian berdua sama hebatnya. Sangat sedikit pasien kemoterapi yang melawan sakit dengan musik seperti kalian."

Kemoterapi, kata itu kembali membangkitkan ketakutan di dasar hati. Mungkin saja Calvin sudah lebih siap. Namun tidak dengan Adica. Kembali dia terbayang rasa mual, tulang-tulang yang terasa sakit, Anorexia, bantal yang dipenuhi helai rambut, dan tatapan iba enam pelayan di rumah.

"Kenapa, cinta? Kamu baik-baik saja kan, nak?" Abi Assegaf menanyainya lembut.

Tak kuat lama-lama berdiri, Adica terduduk di bangku taman. Abi Assegaf merangkulnya. Dapat terbaca ketakutan dan kesedihan.

"Anakku, cinta...andai sakitmu bisa berpindah padaku. Aku siap menghadapinya." kata Abi Assegaf penuh kasih.

Sedih menggulung rapat hati Adica. Ia tak mau, tak mau lagi menginjakkan kaki di ruangan putih berbau tajam itu.

"Abi, aku ingin berhenti kemo saja..."

Kedua alis Abi Assegaf terangkat. Bila sekedar mengulur waktu, ia tak keberatan. Stok kesabarannya masih sangat banyak. Tapi...berhenti kemo?

"Tidak, Sayang. Jangan...jangan berhenti."

"Aku lelah, Abi. Aku lelah harus merasakan efek samping yang parah."

Keputusasaan tergambar jelas di mata itu. Putus asa, rasa yang manusiawi.

"Abi, aku ingin melawan penyakitku dengan bermain musik. Seperti..."

"Kau harus tetap kemoterapi, cinta..."

Tersentuh hati Calvin. Sejurus kemudian, ia berlutut di depan Adica. Lengan bajunya tersingkap. Dua luka bekas suntikan terlihat. Adica merinding melihatnya.

"Kemoterapi suntik itu menyakitkan, Adica. Tapi, aku bertahan. Aku ingin tetap hidup sampai bertemu adikku."

Silvi menahan nafas. Revan menggigit bibir bawahnya. Inikah saatnya?

"Adik? Kau punya adik?" desis Adica setengah tak percaya.

Calvin mengangguk. "Aku belum cerita padamu. Wait, wait. Jika keluarga kandungmu kembali, apa yang kaulakukan?"

"Nothing." jawab Adica datar.

Tanpa sadar, Silvi mencengkeram lengan Revan. Jelas saja Revan berteriak kesakitan karena Silvi memegang kuat-kuat bagian yang terdampak luka kecelakaan tempo hari. Wajah Abi Assegaf menegang. Pastilah pertanyaan itu terlontar bukannya tanpa maksud.

"Apa maksudmu?" tanya Calvin waswas.

"Keluarga kandungku sudah membuangku. Untuk apa aku mengharapkan sesuatu dari mereka? To be honest, aku lebih menyayangi Papa Michael Wirawan dan Abi Zaki Assegaf."

Jujur dan berani, itulah jawaban Adica. Pintu hatinya terlanjur terkunci rapat. Ia tak sadar. Jawaban jujurnya telah melukai sepotong hati.

"Hei, kenapa sedih? Sudahlah, Calvin. Kemungkinannya kecil sekali aku bertemu keluarga kandungku. Situasi sekarang sudah membuatku bahagia."

Penghiburan Adica tak meredakan ironi. Calvin sedih, sangat sedih. Dinding optimisme di hatinya runtuh perlahan.

Kemunculan Syifa dan Arlita menjadi pengalih perhatian. Dua wanita cantik itu membujuk Adica kemoterapi. Hanya ODC (One Day Care Chemotherapy), begitu kata mereka. Cukup pemberian obat selama 7 jam, tanpa perlu rawat inap.

Bujukan Syifa, Arlita, dan Abi Assegaf berhasil juga. Adica memasuki ruangan putih itu ditemani tiga pendamping. Calvin memperhatikan dengan hati pedih. Cinta itu membebaskan. Mudah diucapkan, terlalu sakit untuk dilakukan.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun