"Great..." Calvin memuji Adica.
"Thanks. Kamu jauh lebih hebat." kata Adica merendah, menyimpan biolanya.
"Kalian berdua sama hebatnya. Sangat sedikit pasien kemoterapi yang melawan sakit dengan musik seperti kalian."
Kemoterapi, kata itu kembali membangkitkan ketakutan di dasar hati. Mungkin saja Calvin sudah lebih siap. Namun tidak dengan Adica. Kembali dia terbayang rasa mual, tulang-tulang yang terasa sakit, Anorexia, bantal yang dipenuhi helai rambut, dan tatapan iba enam pelayan di rumah.
"Kenapa, cinta? Kamu baik-baik saja kan, nak?" Abi Assegaf menanyainya lembut.
Tak kuat lama-lama berdiri, Adica terduduk di bangku taman. Abi Assegaf merangkulnya. Dapat terbaca ketakutan dan kesedihan.
"Anakku, cinta...andai sakitmu bisa berpindah padaku. Aku siap menghadapinya." kata Abi Assegaf penuh kasih.
Sedih menggulung rapat hati Adica. Ia tak mau, tak mau lagi menginjakkan kaki di ruangan putih berbau tajam itu.
"Abi, aku ingin berhenti kemo saja..."
Kedua alis Abi Assegaf terangkat. Bila sekedar mengulur waktu, ia tak keberatan. Stok kesabarannya masih sangat banyak. Tapi...berhenti kemo?
"Tidak, Sayang. Jangan...jangan berhenti."