Baiklah. Abi Assegaf menyerah. Ia takkan lagi berpura-pura. Gumpalan awan di matanya bertransformasi jadi hujan. Ayah mana yang tak menangis saat anaknya kesakitan luar biasa? Sekalipun sang ayah tidak punya ikatan darah dengan anak itu.
"Itu menyakitkan...sangat menyakitkan." desah Tuan Effendi frustrasi.
Bagaimana tidak frustrasi? Perawat mencoba tusukan di tangan kanan, tapi gagal. Calvin kembali merasakan sakit. Kelewatan, diinfus saja harus sakit juga seperti dikemoterapi.
"Cukup!"
Ingin rasanya komisaris utama Assegaf Group itu berteriak. Menghentikan Dokter Tian "menyakiti" anaknya. Berat, berat sekali bagi sosok ayah penyayang menyaksikan permata hatinya dijejali rasa sakit.
"Adica anakku...cintaku, kuat ya. Ini takkan lama...ini takkan lama."
Lama perawat itu mencoba. Tusukan di tangan kanan. Sekali percobaan tusukan di kaki kiri. Gagal lagi. Tusukan berpindah ke lengan kiri. Nyaris saja Calvin tak tahan sakit.
Wajah teduh nan berwibawa Tuan Effendi berubah tegang. Kalian takkan temukan raut wajah setegang itu saat beliau ada di kantor. Di hadapan ribuan karyawannya, mana mungkin sebersit ketegangan ditampakkan? Tapi di sini, lain lagi ceritanya.
"Hentikan! Jangan tusuk anakku lagi! Hentikan!" hardik Tuan Effendi. Ia memeluk Calvin erat.
Pelukan? Hadiah terindah setelah kemo kedua. Pelukan menjadi jalan pembebasan dari rasa sakit. Pelukan hangat melepas ketegangan. Itulah hadiah terindah pemberian Abi Assegaf untuk Adica.
Dokter Tian tersenyum, lekat memperhatikan. Tabung kecil berisi cairan merah tersimpan aman di sakunya. Dalam hati ia memohon ampun pada raja dari segala raja bila perbuatannya salah. Dia hanya ingin mengembalikan takdir. Zaki Assegaf bukannya kurang baik. Hanya saja, ia terlalu cinta hingga mengingkari realita.