Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Tulang Rusuk Malaikat] Sujud Cinta Para Malaikat

22 Oktober 2018   06:00 Diperbarui: 22 Oktober 2018   06:23 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku mau, Abi." jawab Adica akhirnya.

Syifa bersorak. Polos dan kekanak-kanakan, namun Adica justru menyukainya. Wajah Abi Assegaf berangsur lega. Satu masalah selesai. Niat tulus menghasilkan penerimaan.

**    

Hari ini, kondisinya tak sebaik hari kemarin. Calvin flu berat. Terdapat radang yang cukup parah di tenggorokan. Hal tak diinginkan pasca kemo kedua.

Revan dan Silvi stay di rumah sakit. Mereka merawat Calvin dengan sabar. Satu jam sekali, Dokter Tian bolak-balik ke ruang VIP. Tuan Effendi tak berkonsentrasi saat membahas rencana ekspansi perusahaan karena terus mencemaskan kondisi anak semata wayangnya. Menjelang siang, Nyonya Rose menunda acara dengan teman-teman sosialitanya dan lebih memilih datang ke rumah sakit.

Tenggorokannya serasa ditusuk pisau. Sakit, sakit sekali. Calvin sedih karena ia tak bisa bernyanyi. Ia hanya mampu bermain piano.

Dalam kondisi sakit, malaikat tampan bermata sipit itu tetap menulis dan berbagi. Ia update laman blognya dengan artikel-artikel brilian dan inspiratif. Melawan rasa sakitnya, Calvin naik kursi roda mengunjungi pasien-pasien miskin dan termarginalkan di bangsal kelas tiga. Calvin tak pernah lelah mendengarkan curahan hati mereka. Tangannya selalu terulur untuk mengusap kepala anak-anak yang sakit dan terluka. Limpahan kekayaan miliknya ia gunakan untuk menolong mereka yang berkutat dengan kesulitan membayar biaya rumah sakit.

Meski penyakit menggerogoti, meski banyak hal terampas darinya akibat kanker, hati Calvin tetaplah lembut. Tak pernah ada setitik pun dendam dan niat memprotes Tuhan. Ia percaya, kanker adalah anugerah. Sama seperti anugerah ketampanan wajah, kekayaan, sahabat yang baik, gadis cantik, orang tua penyayang, kecerdasan otak, karier cemerlang, bakat menulis dan bermusik.

"Seharusnya kau jangan memaksakan diri, Sayang." sesal Nyonya Rose.

Kembali dari bangsal kelas tiga, Calvin terbatuk. Dahak dan darah dimuntahkan. Ibu cantik yang telah melahirkan anak setampan Calvin itu salah duga. Dikiranya sang anak memaksakan diri. Tidak, sama sekali tidak. Justru Calvin sangat senang bisa mengasihi dalam sakit.

Bukan Nyonya Rose yang paling memahami perasaan Calvin saat ini, tetapi Revan dan Silvi. Sepasang kakak-beradik bermarga Tendean itu mengulurkan tangan mereka tanpa kata. Menyeka sisa muntahan dengan lembut. Menatap dalam-dalam mata Calvin, mengisyaratkan kalau mereka mengerti. Bahkan mereka mengagumi kebaikan Calvin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun