"Sungguh, Effendi. Dia mirip sekali dengan Calvin. Wajahnya, ekspresinya ketika menerima hasil diagnosis, sorot ketakutan di matanya saat kujelaskan prosedur kemoterapi...demi Allah, dia mengingatkanku pada Calvin."
Wajah Tuan Effendi berubah kusut. Diaduk-aduknya milk tea dengan gamang. Terbayang seraut wajah yang sangat tidak dia sukai belakangan ini. Wajah yang sering kali ia lihat keluar-masuk koridor ruang VIP.
"Jangan sentimen terus sama Pak Zaki...ups, maaf. Pak Assegaf maksudku. Kau kan bisa tanya beliau baik-baik." Dokter Tian pelan menyarankan.
"Tapi jangan berharap terlalu tinggi."
Berurusan dengan Zaki Assegaf? Seperti tak ada pilihan lain saja. Tuan Effendi tertawa hambar. Meneguk milk teanya banyak-banyak, lalu tersedak. Tepuka pelan Dokter Tian di punggungnya sedikit menyadarkan.
"Kenapa sih kamu nggak suka sama Pak Assegaf?"
"Entahlah, Tian. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu padanya. Padahal dia baik...ah, aku tidak tahu."
Sang dokter penyuka puisi tertawa kecil. Mata hatinya menelusuri hal lain. Mungkinkah naluri kebapakan?
"Effendi, aku pernah kehilangan anak. Rasanya sakit sekali. Al meninggal karena kanker, dan aku dihantui rasa bersalah sepanjang hidup karena tak bisa menolongnya. Aku janji akan membantumu mendapatkan anak keduamu lagi." kata Dokter Tian lembut.
"Oh, thank you Tian. Calvinku pasti akan senang."
"Hei, Calvinku juga. Sudah kuanggap Calvin seperti anakku sendiri. Jadi bagaimana, Effendi? Kau mau kubantu?"