Deringan ponsel pintar mengurai atensinya. Calisa mengangkat kepala dari lengan kursi. Sesaat tadi ia tertidur. Subuh belum pergi. Setengah hati, dijawabnya panggilan telepon di smartphone cantik berlogo apel tergigit itu.
"Calisa..."
Sebuah suara barithon berbisik. Aliran listrik ribuan volt serasa menyengat tubuh Calisa. Kesadarannya terkumpul sempurna. Ia mengenali, sangat mengenali. Suara yang sudah lama sekali tak didengarnya.
"Anton?" lirih Calisa, kaget dan tegang.
Hening. Keheningan menunggang udara. Mengapa begini? Benih-benih firasat tumbuh di hati Calisa.
"Ayahku meninggal. Pembuluh darah otaknya pecah."
Dua kalimat. Ya, cukup dua kalimat. Sempurna merobek ketenangan. Calisa terbelalak.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Aku...aku tak percaya, Om Raymond meninggal secepat itu."
Terdengar helaan nafas di seberang sana. Calisa kehilangan kata. Berita kematian di pagi hari, siapa yang siap menerimanya?
"Tak bisakah kamu ke sini? Aku butuh kamu, Calisa."
Mendengar itu, Calisa tertegun. Tak salahkah pendengarannya? Anton, sepupu jauhnya, Ice Prince yang begitu dingin pada wanita, memohonnya datang? Pria setengah bangsawan setengah bule yang menolak bentuk perjodohan dengan wanita mana pun, mengatakan ia butuh sepupu cantiknya? Sebuah keanehan luar biasa.
"Apa...apa maksudmu?" tanya Calisa, tenggorokannya tercekat.
"Datanglah ke rumah duka, Calisa. Aku membutuhkanmu. Aku butuh kekuatanmu sebelum memandikan dan mengimami shalat jenazah ayahku. Hanya dengan tanganku, ingin kurawat jenazah Ayah untuk terakhir kali. Kumohon, Calisa."
Ada nada memohon di situ. Ada luka dan kesedihan. Ya, Allah, belum pernah Anton begitu hancur dan putus asa.
Dilema mengepung hati. Jujur dengan dirinya sendiri, Calisa ingin sekali berada di samping sepupunya. Menguatkan calon pewaris jaringan restoran makanan Nusantara di kota budaya itu, memeluknya, atau sekedar menggenggam tangan dan memberinya kata motivasi. Sungguh, ingin sekali ia lakukan. Di sisi lain, akan ada hati yang terluka bila dia melakukan itu. Sepotong hati malaikat yang harus dia jaga.
"Calisa, bisakah kau datang...?" pinta Anton untuk ketiga kalinya.
Perang batin berkecamuk. Dua wajah melintas di benaknya. Seraut wajah setengah bule yang rupawan, seraut wajah orientalis dengan mata sipit bening meneduhkan yang tak kalah tampan. Anton dan Calvin, dua pria istimewa dalam hidup Calisa.
"Tidak." kata Calisa cepat.
"Apa?"
"Aku tidak bisa datang."
"Kenapa?"
"Aku akan melukai hati Calvin bila menemuimu."
Jeda begitu lama. Hening yang berlalu sangat menyakitkan. Walau tak terdengar, Calisa dapat merasakan denyut kekecewaan. Anton kecewa, sangat kecewa.
"Pria itu lagi," desisnya tak terima.
"Mengapa harus Calvin Wan? Apa istimewanya dia? Apa yang kaulihat dari dia?"
Lagi, sebuah penentangan. Sinyal-sinyal penentangan dari sang sepupu yang juga cinta masa kecilnya. Anton menentang kedekatan Calisa dengan Calvin.
"Dia malaikat tampan bermata sipitku."
Anton tertawa hambar. "Malaikat? Seperti itu kaukatakan malaikat?"
"Anton, haruskah mencintai ada alasannya? Bukankah cinta sejati adalah cinta tanpa syarat?"
Skakmat. Dua pertanyaan Calisa seperti skakmat baginya.
"Calvin telah merusak hubunganku denganmu, Calisa."
Klik. Sambungan diputus. Tubuh Calisa terasa dingin. Pelan, diletakkannya iPhone ke atas nakas. Setiap pilihan mengandung risiko.
** Â Â Â
Hamparan mawar putih di taman belakang rumah memanjakan pandangannya. Calvin duduk di bangku taman yang bersebelahan dengan air mancur. MacBook terbuka di pangkuannya. Rutinitas paginya: menulis artikel. Mengupdate isi blognya. Sebelum ia disibukkan dengan tugas-tugas sebagai pemimpin perusahaan.
Tenggelam dalam tulisan, tetiba Calvin merasakan sakit. Refleks ia berhenti mengetik. Pria tampan berjas hitam itu kesakitan. Seperti ada ribuan jarum ditusukkan secara bersamaan ke punggungnya.
Tes.
Hidung Calvin berdarah. Tetes merahnya menjatuhi keyboard. Mengapa serangan ini terjadi di jam emas? Ketika seharusnya ia sudah memposting artikel?
"Calvin, are you ok?"
Calisa tiba di waktu yang tepat. Ia peluk Calvin erat. Lembut diusapnya darah itu.
"Calisa, maaf..." ujar Calvin lirih.
"Untuk apa minta maaf?"
"Kau datang ke rumahku, malah disambut dengan situasi seperti ini. Maaf..."
Begitulah Calvin. Tidak salah pun meminta maaf. Salah satu tanda orang baik adalah berani mengucap tiga kata ini tanpa tendensi: tolong, terima kasih, dan maaf.
"No problem. Mana yang sakit? Perlukah kita ke RS sekarang?"
"Nope. Aku ingin menyelesaikan tulisanku, lalu ke kantor."
Bila sudah begini, Calvin tak bisa dibantah. Praktis Calisa hanya bisa duduk di sisinya. Berjaga-jaga atas segala kemungkinan.
Setengah jam berlalu. Artikelnya selesai. Lega, Calvin menutup laptopnya. Ia layangkan pandang ke wajah Calisa. Wajah calon istrinya itu nampak sedih. Bayangan sendu tak dapat tertutupi.
Memegang lembut lengan Calisa, Calvin bertanya. Menanyakan alasan mengapa dirinya bersedih.
"Calvin, bolehkah aku ikut ke kantor? Aku ingin menemanimu," Calisa setengah memohon.
"Boleh saja. Tapi...memangnya kamu tidak ada jadwal pemotretan hari ini?"
Pertanyaan Calvin disambuti gelengan kepala Calisa. Sejurus kemudian, Calvin meraih lembut tangan wanitanya. Menggandengnya ke mobil.
** Â Â Â
Di mobil, keduanya terdiam. Calisa menekan dalam-dalam kepedihannya. Hati Calvin terus meraba kemungkinan. Menduga alasan Calisa berduka. Pasti ada sesuatu.
Radio mobil mengalunkan sebuah lagu. Intronya familiar. Calvin dan Calisa bertukar senyum, lalu bernyanyi mengikuti alunan lagu.
Aku belajar mencintaimu
Mencintai tanpa syarat apa pun
Meski kau yang tersulit untukku
Tapi aku tak ragu
Kini kita sudah semakin jauh
Bahkan sulit untuk kembali
Kuberi semua yang ada padaku
Tanpa syarat apa pun... (Afgan-Cinta Tanpa Syarat).
Sampai di sini, Calisa berhenti menyanyi. Ia teringat Anton. Anton yang mempertanyakan cintanya, Anton yang begitu tidak menyukai Calvin.
"Aku ingin terus ada di hatimu...aku lelaki yang tak bisa mudah menggantimu." Calvin terus bernyanyi dengan suara bassnya yang empuk.
Bola mata Calisa berawan. Awan-awan itu menggumpal menjadi hujan. Calisa tergugu. Ia menangis.
"Hei...kenapa, Sayang? Ada yang salah?" Calvin bertanya lembut. Menepikan mobilnya, lalu menghapus lembut air mata Calisa.
"Ayahnya Anton meninggal..."
"Innalillahi...semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisi Allah."
Sepasang mata sipit itu memancarkan empati yang tulus. Makin banyak air mata Calisa. Dalam gerakan slow motion, Calvin memeluknya. Menyandarkan kepala Calisa ke dadanya. Wanita cantik karena kulit putihnya dan mata biru kobaltnya itu terisak. Andai saja Anton tahu sebaik apa Calvin.
"Pergilah ke Rumah Besar. Berikan kepedulianmu pada Anton dan ibunya."
Ucapan lembut Calvin, tatapan teduhnya, sarannya untuk pergi ke Rumah Besar, menggetarkan hati Calisa. Ia menggeleng kuat. Tubuhnya bergetar menahan pilu.
"Aku hanya ingin menjaga perasaanmu, Calvin. Aku tak mau kamu terluka."
"Pergilah, aku tidak akan terluka." ucap Calvin meyakinkan.
Lihatlah, kurang baik apa Calvin? Ia membujuk Calisa pergi menemui cinta masa kecilnya. Walau si pemilik cinta masa kecil telah memaki dan menuduh tak berdasar di belakangnya.
Calisa berkeras tak mau. Ia mencintai Calvin dan ingin menjaga hatinya agar tidak terluka. Inikah salah satu bentuk cinta Calisa?
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H