Hanya beristirahat sebentar di kamarnya yang nyaman, Calvin bergegas keluar dari Anwar Al Madinah Moevenpick Hotel. Satu dari 41 pintu masuk Masjid Nabawi terletak di samping hotel. Calvin beradu cepat dengan waktu, mengejar Subuh.
Targetnya, empat puluh kali shalat di Masjid Nabawi. Bukankah pahala shalat di Masjidnya Rasulullah ini setara dengan seribu kali shalat di masjid lainnya kecuali Masjidil Haram? Delapan hari Calvin di Madinah. Ia bertekad takkan melewatkan shalat wajib ditambah shalat sunnah di sini.
Kini, dia bisa beribadah lebih tenang. Tak seperti dua tahun lalu. Waktu itu, Calvin memakai penutup wajah selama Umrah. Kecuali saat shalat dan thawaf. Pasalnya, tak sedikit jamaah asal Indonesia dan Malaysia yang minta berfoto. Kesempatan beribadah sambil bertemu blogger dan mantan peragawan idola mereka.
Usai shalat Subuh, Calvin tak langsung kembali ke hotel. Ia kunjungi makam Rasulullah. Khusyuk berdoa di sana. Menatapi kubah hijau di atas makam. Menghayati doanya. Beberapa hari yang berkesan di kota suci tempat hijrahnya Nabi Muhammad. Selama di Madinah, Calvin merasakan manisnya ibadah berkali-kali lipat. Manisnya Mammoul-makanan ringan khas Arab Saudi berupa kue kering berisi selai kurma-kalah jauh dengan manisnya beribadah di tempat suci.
Tepat ketika ia menyelesaikan doanya, waktu sunrise tiba. Calvin bergegas mengambil posisi yang tepat. Tak ingin ketinggalan momen indah ini.
Langit kelam sontak berubah terang. Rona jingga menyapa. Garis-garis merah keemasan cahaya pertama matahari pagi terlukis sempurna. Semburat sinarnya jatuh di atas payung-payung ikonik Masjid Nabawi yang mulai mengembang. Sinar yang jatuh terpantul indah dari payung-payung raksasa. Sunrise di Masjid Nabawi begitu indah.
Kilauan jingga-merah-keemasan berpadu indah dengan kilau emas dan marmer yang dominan di seputar masjid. Jejeran tiang berbaris rapi dan simetris. Masjid super luas ini diperindah dengan tujuh ton emas.
Puas menikmati mahakarya Allah Yang Maha Cinta, Calvin berjalan ke interior Utsmaniyyah. Interior ini menandai luas masjid 50x50 meter yang awalnya dibangun Nabi. Dulunya, Nabi Muhammad membangun masjid yang kecil dengan jamaah sedikit. Nabi dan para sahabatnya shalat berlantaikan pasir, beratapkan langit.
Di sela prosesi umrah, Calvin masih sempat menulis artikel. Tentu saja tanpa menyebut-nyebut pengalaman umrahnya. Seperti biasa, tulisannya hanya berfokus tentang bisnis, ekonomi, dan humaniora. Tak satu pun teman blogger yang tahu jika ia sedang ke tanah suci.
Selama umrah, Calvin hanya berkomunikasi dengan sedikit orang: Silvi, Calisa, Revan, Dokter Tian, Suster Adinda, dan tiga keponakan. Dia rutin video call dan mengirimkan foto-foto perjalanannya. Walau begitu, Calvin tak lupa tujuan utamanya datang ke sini: mencari jawaban.
Doa terus ia lantunkan dalam hati. Bukankah berdoa di tanah suci akan dikabulkan? Selain berdoa, tak hentinya ia meminta ampun. Di sinilah Calvin menyadari tak terhitung banyak kesalahannya.
Selingkuh hati adalah kesalahannya yang paling fatal. Perselingkuhan menjauhkannya dari Allah. Membuatnya mengkhianati janji di depan Allah, Silvi, dan ratusan tamu di pesta pernikahan mereka beberapa tahun lalu.
Berkali-kali Calvin memimpikan banyak kenangannya dengan Silvi. Mulai dari kenangan termanis hingga terpahit. Pertemuan pertama mereka di agency, kedekatan dengan Silvi, percobaan bunuh diri yang gagal, Calvin membantu Silvi berhenti melukai dirinya sendiri, vonis mandul, dan Silvi yang menerima lamarannya. Dalam mimpi-mimpi itu, terlihat Silvi sangat membutuhkan Calvin. Silvi kuat, namun di sisi lain dia tetap membutuhkan kasih sayang pria sebaik Calvin Wan.
Sejauh ini, semuanya berjalan lancar. Bahkan Calvin sempat berdoa di depan Multazzam dan mencium Hajar Aswad. Kesempatan yang belum tentu dimiliki semua orang, apa lagi bila jamaah sedang padat-padatnya.
Penyakit itu kambuh lagi saat Sa'i. Ritual berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwah untuk mengenang usaha Siti Hajar mendapatkan air itu mungkin ringan saja bagi mereka yang sehat. Tapi, berat jadinya bila dikerjakan penderita penyakit ginjal yang memaksakan diri umrah. Apa lagi, Calvin menolak memakai kursi roda dan dibantu sesiapa.
"Ya, Allah...kuatkan aku." Calvin bergumam lirih, merasakan sakit luar biasa.
"Aku masih punya tanggung jawab di tempat lain, Ya Allah. Istriku, Calisa, Carol, Thalita, dan Stevent masih membutuhkanku..."
Mungkinkah ini hukuman atas perbuatan dosanya? Tidak, Allah tidak sekejam itu. Calvin menguatkan diri. Voilet, berhasil ia bertahan.
Selesai semua ritual umrah, Calvin menjalani perawatan di rumah sakit. Selang oksigen dipasangkan. Saturasi oksigen di tubuhnya sangat rendah. Malaikat tampan bermata sipit yang sangat tegar itu harus terbaring lagi di rumah sakit, untuk kesekian kali.
** Â Â
Telah banyak yang kulewati
Jalani takdir dunia
Tak terhitung salah menodai
Masihkah ada kesempatan
Bagiku mendekatkan hati dan cinta kasihMu
Kuingin bersihkan diriku
Dari segala dosa
Yang telah kuperbuat hingga kini
Kuingin bersihkan jiwaku
Terangilah dengan segala petunjuk jalanMu
Tiada yang ada selainMu
Yang selalu menjagaku
Meski kadang tinggalkanMu
Aku hanyalah manusia
Yang mencari jalanMu
Yang pasti kembali padaMu
Kuingin bersihkan diriku
Dari segala dosa
Yang telah kuperbuat hingga kini
Kuingin bersihkan jiwaku
Terangilah dengan segala petunjuk jalanMu (Afgan-Pencari JalanMu).
Ribuan kilometer dari tanah suci, pria orientalis yang sangat mirip dengan Calvin tengah bermain biola di depan sekumpulan anak jalanan. Pria itu mengenakan kemeja putih, seputih kulitnya. Sang pria bermain biola sambil bernyanyi. Suara barithonnya lembut menggugah hati.
Suara tepuk tangan mengiringi akhir lagu yang dimainkannya. Anak-anak kotor namun santun itu mengungkapkan pujian. Terhibur di tengah kepenatan hidup.
"Aku pengen main biola sebagus Kak Adica." kata seorang anak perempuan berambut pendek penuh kesungguhan.
Adica tersenyum simpatik. Mengelus rambut anak itu. "Kamu pasti bisa..."
Tak hanya mengajar musik, dia pun memberikan energi positif. Anak-anak itu diberinya motivasi untuk terus berjuang menggapai bintang. Ia menganalogikan bintang di langit sebagai mimpi, harapan, dan cita-cita. Adica menjadi guru biola idola para murid di sekolah khusus anak terlantar.
Azan Zuhur menjadi tanda berakhirnya pelajaran hari itu. Dengan sabar, Adica membimbing murid-muridnya shalat di mushala kecil yang dibuat pihak yayasan tempatnya bekerja. Menjadi guru untuk anak jalanan dan terlantar sama artinya dengan menjadi orang tua, Imam, dan sahabat mereka.
Sengaja ia berlama-lama dalam sujudnya. Menikmati kemesraan dengan Tuhan. Kalau tak bisa bermesraan dengan manusia, bermesraan dengan Tuhan sudah cukup. Sebanyak mungkin Adica memohon ampun dalam shalatnya.
"Ya, Rabb, mungkin aku tak bisa berdoa di tanah suci seperti kebanyakan Muslim kaya dan high class itu. Kumohon terimalah doaku, Ya Allah. Terimalah doaku dari mushala sederhana ini..."
Seketika Adica teringat Calvin. Orang yang paling dibencinya. Ironis, orang yang menerima begitu banyak kekayaan, kenikmatan, dan kemudahan hidup. Bila banyak orang menganggap Calvin seperti malaikat, Adica tidak begitu. Calvin bukan malaikat. Di matanya, Calvin hanyalah manusia jahat yang membuatnya tersingkir. Membuatnya terpisah dari almarhumah istri dan anak-anaknya sendiri.
Gegara Calvin, Adica terlempar ke dunia yang termarginalkan. Ia harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidup. Menjadi jurnalis part time di media online, pekerja sosial di yayasan, tallent performer di taman wisata, buzzer, sampai bodyguard orang-orang kaya pernah ditekuninya. Ia menjalani hidup yang keras karena Calvin.
"Ya, Allah, ampuni aku. Ampuni aku karena masih kusimpan dendam di hatiku. Mungkin aku akan banyak mengecewakanMu lagi..."
Doanya menjadi lebih panjang dari biasa. Begitu pula zikirnya. Puas mengadu pada yang berkedudukan di langit ketujuh, Adica mengeluarkan lembar-lembar koran edisi hari ini dari tas biolanya. Lembaran koran ia kumpulkan pagi tadi. Ada iklan yang sangat menarik.
Iklan penjualan rumah? Bukan. Itu sama sekali tak menarik baginya. Dalam situasi seperti ini, mana bisa ia membeli rumah?
Iklan lowongan pekerjaan? Bukan juga. Ini lebih dari sekedar lowongan pekerjaan.
Istimewanya, iklan ini tak hanya terpasang di koran-koran. Mungkin si pengiklan tahu kalau kini media cetak tengah mengalami senjakala. Selain di media cetak, ia juga memasang iklannya di sejumlah website.
Sekali lagi, dibacanya iklan itu. Memindai kata demi kata dengan alis terangkat. Sejenak kemudian ia tersenyum puas. Inilah yang diinginkannya.
Anda pria sehat, tampan, cerdas, dan berbakat?
Mau menemani wanita cantik dan menjadi ayah untuk seorang anak?
No drugs.
Harga nego.
Hubungi 08xxxxxxxxx
Instingnya benar. Dia tahu persis siapa pengiklan itu. Cerdik sekali, pikirnya gemas. Jelas dia wanita cerdas. Bahasa iklannya cenderung menggelitik. Sekilas, mungkin seperti iklan mencari jodoh atau teman kencan untuk janda satu anak. Benar-benar brilian.
"Ok fine...permainan akan dimulai. Kita lihat sampai kapan akan game over."
Saatnya menelepon si pemasang iklan.
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H