Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Wajahmu Mengalihkan Duniaku

14 September 2018   06:00 Diperbarui: 14 September 2018   08:35 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari jendela kantornya, senja terlihat begitu indah. Gradasi merah keemasan menyapa langit. Bola merah bercahaya di kaki langit sebelah barat itu akan segera hilang. Membiaskan bayangan panjang merah bersaput emas yang bergetar.

Calvin menikmati datangnya senja dengan hati ringan. Walau tangannya tak lepas dari telepon pintar berlogo apel tergigit, ia masih bisa menatapi keindahan karya tangan Tuhan dari sini. Melihat langit indah menjelang petang menjadi cara efektif me-refresh pikiran.

"Malaikat tampan bermata sipit, aku takkan bosan mengingatkanmu untuk menjaga ginjalmu."

Potongan chat terakhir Calisa menggetarkan hatinya. Sebuah pengingat, pengingat yang datang dari hati seorang wanita. Lama, lama sekali Calvin tak mendapatkannya.

Sejak pagi, Calvin dan Calisa memulai percakapan virtual. Berawal dari undangan fashion show yang dikirimkan Calisa via e-mail. Berlanjut dengan getaran-getaran smartphone menyambuti dialog emosional yang terhubung sarana digital. Di sela pekerjaannya, Calvin intens chatting dengan wanita keduanya. Tak sabar ia menanti malam. Saat dirinya dan Calisa bisa bertemu.

Sudah cukup untuk hari ini. Selamat tinggal tumpukan laporan keuangan, selamat datang kebebasan. Dimatikannya komputer. Dilangkahkannya kaki meninggalkan ruang kerja direktur.

Di depan lift, Calvin berpapasan dengan sekretarisnya. Sekretaris cantik berpipi chubby itu baru akan pulang ketika bosnya meninggalkan kantor. Sejenak mereka berbincang hangat sambil menunggu.

Deringan ponsel menyela. Bukan dari Calisa, tetapi dari keponakannya.

"Papa-Vin..." Suara Carol terdengar serak di ujung sana.

"Kenapa, Sayang?" tanya Calvin, lembut bercampur khawatir.

"Carol, Thalita, dan Stevent kangen Papa-Vin. Kapan kita ketemu lagi?"

Kerak-kerak es di dinding hati Calvin luluh seketika. Andai saja tak ada janji dengan Calisa, sekarang juga dia akan meluncur ke villa putih di utara kota. Sayang, selingkuh hati lebih penting.

"Tadi Stevent di-bully, Papa-Vin. Hampir aja dia jatuh dari kursi rodanya."

"Astaghfirullah al-azhim...tapi Stevent nggak kenapa-napa kan, Sayang?"

Berat, sungguh berat. Keponakannya butuh perhatian, namun ia justru memilih yang lain.

**    


Ketika kaulewati bumi tempat ku berdiri

Kedua mata ini tak berkedip menatapi

Pesona indah wajahmu

Mampu mengalihkan duniaku

Tak henti membayangkanmu

Terganggu oleh cantikmu

Tujuh hari dalam seminggu

Hidup penuh warna

Ku selalu mendekatimu

Memberi tanda cinta

Engkau wanita tercantikku

Yang pernah kutemukan

Wajahmu mengalihkan duniaku (Afgan-Wajahmu Mengalihkan Duniaku).

Kedua kaki jenjang Calisa bergerak lincah. Pemiliknya tersenyum menawan. Sosoknya nampak anggun dalam balutan dress perpaduan grey dan marun, bertabur mutiara di bagian bawah. Rambut panjangnya tergerai rapi: halus dan berkilau. Riasan make up melengkapinya.

Kedua mata Calvin tak berkedip menatapi pesona wanita cantik di atas catwalk itu. Sebagai mantan model, Calvin bisa menilai gerakan Calisa. Sempurna, tanpa cela. Koreografinya tanpa kesalahan. Ekspresi, langkah kaki, postur, dan ketepatan langkah mengikuti irama musik, semuanya sempurna.

Jika tak ingat etika menonton fashion show, ingin rasanya Calvin memotret Calisa. Mengabadikan tubuh indah itu dan gerakan-gerakan menawannya. Membekukannya dalam gambar.

Saat Calisa melakukan gerakan memutar dengan anggun, hati Calvin berdesir. Serasa terlempar dalam deja vu. Beberapa tahun sebelum menikahi Silvi, ia juga sering berjalan-jalan di runway. Membawakan koleksi terbaru desainer-desainer yang tak meragukan talentanya. Calvin mencintai profesi peragawan, sama seperti dirinya mencintai jaringan supermarket dan blog pribadinya.

Pria berjas grey itu terhipnotis pesona Calisa. Mata sipitnya tak lepas memandangi satu titik di catwalk. Usai penampilan Calisa, Calvinlah orang pertama yang memberikan applause. Disusul audience lainnya. Sukses menerbitkan senyum manis dari sang model.

"Good job, Calisa." Calvin melempar komplimen saat menemui wanita itu di backstage.

"Thanks. Because of you..."

Keduanya saling pandang penuh arti. Fashion show malam ini memuaskan. Calisa memang berbakat. Langsung saja akun Instagramnya banjir pujian netizen. Calvin begitu bangga pada wanitanya.

"Setelah ini, aku punya hadiah untukmu." bisik Calvin, mengedip misterius.

"Wow...apa itu?"

**    

Kerlip bintang menyaingi pendar cahaya lampu kota. Meski begitu, dua entitas berbeda itu tetap memperindah malam. Citylight yang memesona berpadu dengan kilau bintang, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan?

Tepat ketika tengah malam, Calvin mengajak Calisa kencan mewah berkeliling kota dengan Limousine. Tak ada BMW putih malam ini. Biarkan Limousine dengan supir pribadinya saja yang hadir. Limousine mewah itu melaju dalam kecepatan sedang.

"Jadi, ini hadiah yang kamu maksud?" Calisa membuat konklusi, melingkarkan lengannya di leher Calvin. Disambuti anggukan si pemilik Limousine.

"Pretty good. Sekali lagi, aku harus berterima kasih padamu, Calvin."

Keduanya berpelukan. Saling melingkarkan lengan. Melukis malam dengan kemesraan.

Pelukan hangat Calvin-Calisa sukses membangkitkan tanya di hati supir pribadi. Otak kritisnya tak mampu menerima ketika tangan tuan mudanya dipegang wanita lain. Bukan, bukan tangan wanita itu yang berhak memegang tangan Tuan Calvin. Hanya Nyonya Silvi yang boleh menyentuhnya. Akan tetapi, supir tetaplah supir. Hierarki mencegahnya memuntahkan komplain.

Limousine terus melaju. Detik demi detik mereka nikmati. Calvin sempurna melekatkan hatinya dengan Calisa. Entah lupa, entah sengaja menjauhkan hati dari jangkauan Silvi.

"Anyway, kenapa kamu dipanggil malaikat tampan bermata sipit?" Calisa kembali angkat bicara.

"Good question. Itu karena aku beberapa kali menyelamatkan hidup istriku."

Melihat raut wajah bingung Calisa, Calvin meneruskan. "Aku kenal Silvi dari persahabatanku dengan Revan. Dulu, Silvi gadis rapuh dan kesepian. Dia tertekan karena banyak masalah dalam hidupnya. Silvi sering melukai dirinya sendiri. Beberapa kali dia ingin bunuh diri, tapi kucegah. Well, aku mencintainya. Lalu kunikahi dia."

Saat mengucapkan dua kalimat terakhir, sakit menusuk hati Calvin. Bila dia mencintai Silvi, mengapa malam ini bersama wanita lain?

Sakit yang sama, menusuk hati Calisa. Masih dilihatnya pancaran cinta di wajah teduh oriental itu ketika menyebut nama Silvi. Apa haknya cemburu? Cinta, terkadang bisa merumitkan hati.

"Enough about me. How about you?"

Pertanyaan Calvin mengembalikan atensinya. Calisa menghela nafas, menatap pria yang haram dimilikinya itu.

"Aku? Yah begini...foto model sederhana, tak punya mobil, suka memasak, dan berusaha mengelola cake shop dengan modal pinjaman." Calisa tertawa ringan di antara sakit hatinya.

"That's all?"

Anggukan Calisa tak memuaskan. Namun, Calvin memilih menghargai privasi.

Notifikasi Whatsapp grup berbunyi. Refleks Calvin menepuk dahi. Ia lupa mengaktifkan mode hening di iPhonenya. Toh penasaran juga. Sekalian saja lihat isinya.

Jemarinya bergerak naik-turun di trackpad. Scroll, membaca perbincangan seru tentang link berita yang dibagikan salah satu member. Ini grup para blogger. Aktif sepanjang waktu. Membersnya seakan kebanyakan energi. Praktis mereka aktif terus dari pagi hingga pagi lagi.

"Ada berita menarik?" Calisa menanyainya.

"Yups. Putri Ustadz Saleh pergi dari rumah. Semua stafnya terus mencari."

Tegukan coklat hangat yang tengah dinikmati Calisa, terlompat keluar. Wanita itu tersedak. Calvin menepuk lembut punggungnya.

Tanpa menyadari perasaan Calisa, ia meneruskan ceritanya. Menurut berita dari media mainstream itu, Ustadz Saleh marah besar. Mubaligh terkenal asal Minang itu menuduh putri tunggalnya membangkang. Sang putri tak pernah menuruti perintahnya. Menolak berhijab, terjun di dunia modeling, berteman dengan Non-Muslim, dan banyak pelanggaran lainnya. Dai satu ini memang terkenal keras. Beberapa pengamat menilai ceramah-ceramahnya radikal. Anehnya, walaupun fanatik beragama, Ustadz Saleh menikahi wanita bule keturunan Inggris.

"Calvin, aku takut..." desah Calisa, merapatkan tubuh pada Calvin.

Sesaat Calvin tertegun. Mengapa Calisa begitu takut? Ya, Allah, wajah innocent itu, ekspresi ketakutan itu, mirip sekali dengan Silvi.

"Tidak ada yang perlu ditakutkan, Calisa." Calvin menenangkan, mengusap rambut Calisa.

"Sungguh aku takut, Calvin..."

Kali kedua malam itu, Calvin mendekap Calisa. Berharap ketakutan Calisa berpindah padanya. Nostalgia lagi. Ini seperti pelukannya untuk Silvi. Pelukan ketika Silvi menghadapi masa-masa terberat.

Beberapa meter dari Limousine, sebuah sepeda balap meluncur mengikuti. Hanya pria sakit jiwa yang bersepeda tengah malam bersuhu dingin begini. Meski tertuduh sakit jiwa, pria itu sangat tampan. Ia memiliki wajah oriental dan mata sipit. Sekilas mirip dengan Calvin. Hanya saja, kulitnya sedikit lebih putih. Raut wajahnya lebih tegas dan ia tak se-gallant Calvin. Beberapa bekas luka nampak di kedua pipinya. Pertanda pria itu kuat dan tak segan berkelahi untuk mempertahankan hidup.

Kemeja abu-abunya sederhana saja. Tanpa merk. Namun, ia tetap memikat dalam gayanya. Sepeda balap hanya salah satu properti. Masih ada properti lain dalam genggaman: kamera mirrorless.

Dengan cekatan, pria orientalis itu membidikkan kamera. Menekan tombol shutter berkali-kali. Lincah ia memotret sambil bersepeda. Anglenya bagus pula. Minim kesalahan. Fokus, tidak blur. Puas dengan hasil kerjanya, pria itu tersenyum sadis.

"First step..." ucapnya.

"Rasakan akibatnya, Calvin Wan. Kau takkan menang melawan Adica Wirawan. Sebentar lagi, kau pasti hancur. Langkah kedua: meracuni pikiran Tendean. Ok, ok, aku tahu apa yang harus kulakukan."

Pancaran dendam membayang di mata pria itu. Mata yang menuntut pembalasan, menuntut penebusan.

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun