"Kenapa kau tak juga memaafkanku?"
Silvi membelalakkan mata birunya. "Seharusnya aku yang tanya! Kenapa kau mengabaikanku, dan tiga kali tak mengangkat teleponku hari itu?!"
"Telepon? Telepon yang mana? Bukankah..."
"Hari saat kauantar Angel ke kapel, pada jam yang sama, aku meneleponmu! Tidakkah kau tahu itu, malaikat bodoh?!"
Calvin tertegun. Benarkah? Kemudian ia teringat. Sesudah menyanggupi permintaan tolong Rossie, ia langsung menonaktifkan smartphonenya. Hanya tak ingin diganggu, biar dia fokus membantu Rossie dan Angel tanpa intervensi.
"Calvin, kau tahu...aku terlalu menyayangimu." desah Silvi.
Bulu mata Calvin yang lentik bergerak. Apa lagi permainan Silvi? Katanya, Silvi menyayanginya. Tetapi...
"Aku tahu semuanya, walaupun saat itu aku sengaja tidak menjawab telepon Rossie. Aku tahu Rossie sedang butuh bantuan. Hanya ingin menguji seberapa responsif dan solidnya persahabatan kita. Ternyata, kamulah yang bergerak menolongnya. Kuawasi dari jauh, kulihat kamu kesakitan saat menggendong Angel ke mobil karena limpamu membengkak..."
Jadi, Silvi melihat semuanya? Kembali wanita itu menjelaskan sambil menahan tangisnya.
"Tak tega aku melihatmu. Kutelepon kamu...tapi, kaubalas kepedulianku dengan pembiaran! Kau malah bermain api dengan Rossie!"
Satu, dua, tiga, empat, lima titik bening berhamburan dari mata Silvi. Lebih banyak lagi kristal bening terjatuh. Silvi tergugu. Calvin sempurna terpagut dalam kekagetan dan kesedihan.