Silvi mengangkat alis. Revan berpaling, menyembunyikan perasaan tidak enak di balik cangkir susu.
"Sudah saatnya kamu memaafkan Calvin..."
"Nope. Apa kamu sudah memaafkan dia?"
Pertanyaan Silvi dibalas anggukan Revan. Mendadak selera makan Silvi hilang. Nona cantik bermarga Tendean itu menahan marah.
Bujukan Revan tak mempan. Silvi enggan membuka hati untuk memaafkan Calvin. Baginya, Calvin telah melakukan kesalahan fatal.
Keresahan Revan memuncak ketika deru mobil terdengar di halaman depan. Itu pasti Calvin. Semenit kemudian, penjaga rumah membukakan pintu gerbang. Silvi melompat bangkit, piring keramik di pangkuannya jatuh. Isinya tumpah.
"Aku tidak mau bertemu Calvin!" teriak Silvi jengkel. Ia berbalik, hendak masuk ke dalam rumah. Revan menahannya. Pelan memintanya mau menemui Calvin, sebentar saja.
** Â Â
Sepasang pria dan wanita beda etnis itu berdiri berhadapan. Silvi mengangkat dagu dengan angkuh. Kedua tangannya ia letakkan di pinggang.
Sementara itu, Calvin memandangnya lekat. Diam-diam menikmati kecantikan Silvi. Wanita yang dicintainya ini begitu anggun dalam balutan dress cantik. Dress menjadi pakaian yang sangat khas Silvi. Pakaian seperti itu membuatnya tampil menawan.
"Kenapa..." Calvin memulai, lembut tapi penuh kekuatan.