Begitu Silvi menghilang di kamar mandi pribadinya, Revan cepat-cepat turun ke lantai bawah. Tergerak hatinya menyiapkan sarapan. Sekaligus menebus tiga hari yang hilang.
"Revan...Revan, kamu dimana?" panik Silvi begitu menyadari sepupunya tak ada lagi di kamarnya satu jam kemudian.
Silvi berdandan dengan gelisah. Setelahnya ia terburu-buru menuruni anak tangga.
Tiba di lantai bawah, ia disambut harum roti panggang. Ia percepat langkah ke pantry. Sudah terduga, Revan berdiri di depan meja dapur. Kedua tangannya sibuk mengoleskan selai.
"Hei, udah selesai? Kamu mau selai rasa apa? Coklat, nanas, strawberry...?"
"Nanas aja gimana?"
Dengan telaten, Revan mengolesi selai ke lembaran-lembaran roti. Manik mata Silvi menatapi, kagum. Sepupunya ini bisa saja membuat hati meleleh dengan perhatian kecilnya. Mengapa pria sebaik Revan ditolak Ustadz fanatik?
"Nih, buat kamu. Yang ini buat aku. Time to breakfast." Revan menyerahkan piring keramik berisi roti panggang berlapis selai nanas.
Keduanya sarapan di taman belakang. Sengaja mencari suasana baru. Di ruang makan sudah biasa. Berganti spot tak ada salahnya.
"Kenapa sih, kamu suruh aku make up dan pakai baju rapi pagi-pagi gini? Hari ini kan aku nggak ke butik..." selidik Silvi.
"Ada yang mau ketemu kamu di sini." jawab Revan lembut.